“Sesungguhnya perpecahan, pertikaian dan permusuhan adalah kejahatan yang mewabah dan dosa besar yang bisa merobohkan tatanan kemasyarakatan dan bisa menutup pintu kebaikan.”~ KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Kitab al-Mawa’idz~
Oleh: Muhammad Pizaro
SETELAH melalui pertarungan panjang, pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno akhirnya berhasil memenangkan pertarungan Pilkada DKI Jakarta. Berdasarkan hasil real count, secara keseluruhan Anies-Sandi memperoleh 57,95 persen suara. Sementara itu, Ahok-Djarot meraih 42,05 persen. Perolehan ini insya Allah akan mengantarkan Anies-Sandi menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.
Sejatinya, kemenangan Anies-Sandi tidak bisa dilepaskan dari peran besar umat Islam. Merekalah yang selama ini menjadi mesin politik sesungguhnya dari kekuatan suara Anies-Sandi. Pagi, siang, malam, umat Islam tidak henti-hentinya mengarahkan masyarakat Jakarta agar memilih pemimpin yang beriman, santun, beradab, dan peduli terhadap rakyat.
Jasa Umat Islam
Jika Anies Baswedan dan Sandiaga Uno ingin berterima kasih, berterimakasihlah kepada umat Islam, khususnyaa ustadz yang turun ke kampung-kampung, majelis ta’lim, mushola, masjid, mimba-mimbar tabligh akbar, dan lain sebagainya. Iya para ustadz yang menyapa umat di bawah. Tanpa mesin ini, kemenangan Anies mungkin masih jauh masih mimpi. Sebab kepercayaan umat Islam terhadap Anies-Sandi
Di sisi lain, kasus Pilkada DKI menunjukkan bahwa umat Islam ternyata bisa bersatu di atas segala perbedaan. Mereka tidak lagi melihat diri sebagai NU, Muhammadiyah, Persis, Tarbiyah, Salafi dan lain sebagainya.
Beberapa kelompok anti demokrasi –yang muncul hanya menjelang Pemilu—dan kadang hanya melakukan penggembosan-penggembosan Pemilu, yang sedikit besar mempengaruhi pemilih Muslim, tidak nampak. Sebaliknya, semua elemen meminta pemilih Mulim Jakarta tidak menyia-nyiakan haknya dan diminta ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Perbedaan jamaah dan harakah itu mampu disingkirkan demi tujuan mulia, yakni terpilihnya gubernur Muslim. Citra umat Islam yang selama ini sulit untuk bersatu ternyata tidak terjadi di Pilkada DKI 2017.
Isu gubernur non Muslim, sebagai common enemy (musuh bersama), ternyata mampu menyatukan barisan umat Islam yang selama berserak atas sejumlah masalah. Para ulama ternyata menyadari bahwa terpilihnya Ahok kembali sebagai gubernur adalah mudharat yang besar bagi umat Islam Indonesia. Dengan segala kebesaran hatinya, umat Islam mau melepaskan egoisme gerakan dengan menanggalkan perbedaan. Bahkan organisasi Islam yang terbiasa menyerukan untuk golput dalam pemilu pun memahami pilihan besar umat Islam.
Potensi untuk mendorong persatuan umat Islam inilah yang ditangkap dengan cermat oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta. Dalam aksi 212, PWNU DKI Jakarta telah menunjukkan sebuah ikhtiar untuk menyatukan barisan umat Islam, khususnya dari tubuh NU. Kelompok Nahdliyin ini mengerahkan seluruh kader dan pengurus dalam Aksi Bela Islam III di Silang Monumen Nasional (Monas) dan sekitarnya. Padahal, saat itu, keikutsertaan warga NU dalam aksi bela Islam masih menjadi kontroversi, karena secara umum PBNU melarang simbol-simbol .
Namun Wakil Ketua Tanfidziyah, PWNU DKI, KH. Munahar Muchtar, menegaskan, kehadiran NU DKI dalam aksi tersebut adalah bagian dari upaya aspirasi umat Islam dan upaya mengeratkan tali ukhuwah umat Islam. Ia menyebut NU, Muhammadiyah dan Persis adalah saudara. PWNU DKI pun punya suara yang sama dengan ormas-ormas besar Islam agar Ahok dipenjara.
“Saya yakin ini punya keberkahan, mau Nahdliyin, Muhammadiyah, Persis, semuanya adalah saudara-saudara kita. Kita bersatu, tujuan kita cuma satu: penjarakan Ahok. Titik,” tegasnya.
Menurutnya, tuntutan NU tetap satu, yakni Ahok wajib masuk penjara. “Kalau ada Aksi bela Islam keempat, PWNU akan mengerahkan seluruh komponen yang ada sampai Ahok ditangkap masuk penjara,” kata KH Munahar yang didamping Rois Syuriah KH Mahfudz Asirun kala itu.
Sementara itu, jauh sebelum hari pencoblosan, Ketua Rois Suriyah PWNU DKI Jakarta, KH. Mahfudz Asirun, menegaskan, organisasinya memiliki harapan besar atas terwujudnya persatuan umat Islam, yakni ijtimaul kalimah wal itihadul umah atau bersatunya kalimat dan bersatunya umat.
“Bersatunya NU Muhammadiyah, bersatunya ormas-ormas Islam untuk dapat pertolongan dari Allah subhana wa ta’ala. Itulah harapan kami,” tukasnya usai menggelar silaturahim dengan Rois Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin.
Ahok, sebagai common enemy, bisa menyatukan mereka tanpa mau tersekat pada backrgoun¬ identitas jamaah.
Sebuah harga mahal yang selama ini masih dicita-citakan oleh grassroot umat.
Baca: Adian Husaini: Di Luar Prediksi, Kemenangan Anies-Sandi Pertolongan Allah
Sikap senada juga turut dikatakan Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Menurutnya, tak bisa dipungkiri Aksi 212 memiliki dampak yang demikian besar bagi umat Islam. Dampak aksi tersebut, lanjut Din, menumbuhkan gairah umat Islam yang sangat besar dalam menjalin ukhuwah.
“Epilognya menumbuhkan kegairahan yang lebih besar ke arah yang mendukung ukhuwah umat Islam. Seperti (munculnya) gerakan shubuh berjamaah minimal sekali sebulan, (serta) pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Tantangan Kedepan
Pertanyaaannya kemudian adalah apakah konsistensi kesatuan umat Islam masih bertahan setelah kemenangan Anies Sandi?
Pertanyaan inilah yang harus dijawab umat Islam. Sebab, sejumlah persoalan masih melingkupi umat Islam, termasuk seperti konflik urusan furu’, yang menyebabkan elemen antar ahlus sunnah di akar rumput seolah sedang didesain untuk dibentur-benturkan, seharusnya mulai diakhuri.
Di sinilah, para ulama harus tampil memecahkan masalah. Ulama perlu duduk bersama mencari penyelesaiannya. Gairah umat menyongsong tautan tali persaudaraan haruslah berumur panjang. Tidak boleh berhenti hanya pada raihan suara Anies-Sandi. Sebab, umat Islam selama ini sudah sangat merindukan persatuan. Diamnya kita atas perpecahan hanya akan mengecewakan umat Islam. Apalagi, terpilihnya Anies-Sandi hanyalah pintu masuk menyelesaikan PR-PR yang jauh lebih besar: membangun Jakarta, bahkan Indonesia yang beradab di 2019.
Kemenangan Anies-Sandi adalah hasil perasan keringat umat Islam. Ada peran para kiai-kiai NU yang lurus, mereka yang berada di basis-basis pesantren yang tak mudah terbeli oleh iming-iming uang dan kekuasaan, para habaib (termasuk peran Habib Rizieq Shihab) yang boleh dibilang menjadi ‘martir’ berhadap-hadapan dengan kekuasan, ada Ustad Bachtiar Nasir, ikon Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF), semua ormas Islam, ada tim-tim kerja politik tersembunyi, yang siang malam bekerja tanpa sorot kamera, termasuk putra Ali Sadikin, Boy Sadikin bersama PKS dan koalisi pemenangan Anis dan Sandi.
Baca: Dikecam, Iwan Bopeng Berbaju Kotak-kotak Bilang “Tentara Gua Potong” di TPS
Ada keberanian umat DKI, melawan gencarnya politik uang (money politic). Ada kelompok-kelompok kecil rela keluar-masuk gang, melawan ‘koalisi baju kotak-kotak’ yang membagi beras, minyak dan uang. Bahkan ada peran banyak ibu-ibu muslim, yang saat ini mulai sadar, bagaimana mereka harus ‘melawan’ kekuatan besar yang bersandar di Ahok-Djarot.
Masjid-masjid Jakarta berfungsi lebih, tak hanya mengurusi shalat jamaah. Takmir-takmir menghidupkan jamaah, ajakan memilih pemimpin Muslim adalah wajib. Semua umat berdiri!
Ini semua, bagian dari ‘perlawanan umat’ akibat perasaan tak berdaya. Mereka selama ini menjadi orang kalah, boleh dibilang, mayoritas media TV berada dibalik suara para Taipan, yang gencar melakukan stigma, framing kepada umat Islam, para ulama dan GNPF. Termasuk framing, pendukung Anis-Sandi adalah pendukung radikal. Pemandangan ini bisa dirasakan semua umat Islam.
Yang jelas, kemenangan ini, sudah takdir Allah Yang Maha Kuasa, yang harus disyukuri, dan segera dilanjutkan dengan membangun langkah strategis membangun umat Islam dan mendorong kesadaran bahwa umat Islam adalah bersaudara sampai akhir hayat. Sebab, rasa persaudaran itulah kunci umat Islam Indonesia mampu meruntuhkan tirani kezhaliman. Maka, alangkah sayangnya jika mimpi, cita-cita, dan persaudaraan itu hanya berhenti di kotak suara.*
Penulis Ketua Divisi Kajian Global the Centre for Islamic and Global Studies (CIGS)