Hidayatullah.com— Sekularisme merupakan pengalaman masyarakat Barat yang yang tidak cocok dipaksakan dalam cara pandangan Islam.
“Sekularisme selalu identik dengan Barat. Karena memang dari sanalah ideologi ini berasal dan berkembang. Sekularisme merupakan produk spesifik dari pengalaman masyarakat Barat yang sama sekali tidak pernah dialami oleh peradaban Islam. Oleh karena itu, akan timbul masalah besar ketika paham ini dipaksakan ke dalam konsep dan cara pandang Islam,” demikian dijelaskan Akmal Sjafril dalam perkuliahan ke-11 Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta pada Rabu (16/08) di Aula INSISTS, Kalibata.
Kuliah bertemakan “Sekularisme” ini merupakan kuliah perdana di semester ke-2.
Dalam pemaparannya, Akmal mengutarakan bahwa alasan kedekatan Barat dan Sekularisme tidak lepas dari problematika agama Kristen.
“Penerimaan peradaban Barat terhadap Sekularisme tidak bisa dilepaskan dari posisi Kristen sebagai agama yang menguasai berbagai aspek kehidupan termasuk urusan politik pada masanya,” terangnya.
Pria lulusan Program Pascasarjana Pendidikan dan Pemikiran Islam Univ. Ibn Khaldun ini menjelaskan beberapa problem sejarah Kristen yang dialami di Barat.
“Kekerasan dan kekejaman Inkuisisi dan banyaknya penyimpangan oleh pemuka agama menjadikan masyarakat Barat trauma terhadap agama,” ungkapnya lagi.
Akmal juga menjelaskan adanya problem teks Bibel dan pendekatan Teologis Kristen yang sulit dipahami masyarakat yang saat itu turut menyembabkan ketidakpercayaan dan rasa antipati terhadap institusi agama. Sementara itu di waktu yang sama, antara Al-Quran, Sains dan beragam ilmu pengetahuan telah berpadu dalam Era Keemasannya di tempat yang berbeda.
Pembina SPI dan peneliti INSISTS ini lalu menjelaskan tabiat Sekularisme yang terdiri dari tiga hal pokok yang menjadi alasan pertentangannya dengan Islam secara ideologis. Pertama, disenchantment of nature, yaitu penghapusan pesona ilahiah dari alam semesta. Berbeda dengan Islam yang menjadikan sumber Ketuhanan sebagai inspirasi memahami alam yang seimbang antara rasio dan wahyu.
Aspek kedua, yaitu desacralization of politics, atau menghilangkan kesakralan dan nilai-nilai ketuhanan dalam urusan politik.
“Politik dianggap sebagai aspek duniawi yang kotor dan tidak selayaknya tersentuh oleh spiritualitas dan religiusitas, sehingga segala aspeknya diserahkan kepada manusia dengan mengabaikan tatanan moral dan bimbingan ilahiah dalam kepemimpinan,” ungkap Akmal.
Hal ini menurutnya sangat berseberangan dengan ajaran Islam.
Ketiga, lanjut Akmal, adalah deconsecration of values, atau penafsiran yang selalu berubah terhadap nilai.
“Segala nilai tidaklah tetap dan akan selalu berubah, menyesuaikan dengan kehendak manusia pada jamannya,” ujarnya.
Salah seorang peserta, Iwan Y. Widyastanto, menekankan perlunya memahami bahaya sekularisme terutama dalam konteks beragama.
“Sekularisme pada hakikatnya adalah pintu masuk ke jalan kekufuran. Ketika hubungan manusia dengan Tuhan dipisahkan dari kepentingan antar manusia atau urusan publik, maka sejatinya manusia sudah terjebak untuk menegasikan ke-MahaKuasa-an Tuhan, atau bahkan mempertuhankan sesuatu selain Tuhan,” ungkapnya.*/Ali Faizin