Hidayatullah.com– Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari DKI Jakarta Fahira Idris mengungkapkan, akhir-akhir ini, seiring rentetan penghargaan dan prestasi yang diraih Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, ‘serangan terbuka’ berupa cacian bahkan fitnah terutama di media sosial kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan semakin intensif.
Menurutnya, seperti sebuah ‘operasi’, cacian dan fitnah terhadap Anies bercorak dan beritme sama yaitu mendegradasi berbagai capaian yang diraih Jakarta dan berbagai program pembangunan yang mulai dirasakan warga ibu kota.
Fahira menilai intensitas ‘serangan’ terhadap Anies biasanya meningkat di saat-saat Gubernur DKI Jakarta ini membuat terobosan baru atau saat Pemprov mendapat prestasi atau capaian.
Berdasarkan pengamatannya, semakin sering Pemprov DKI mendapat apresiasi atau membuat terobosan, ‘serangan’ akan semakin intensif.
“Sebenarnya jika isu yang jadi tema kritikan atau ajang cacian kepada Anies substanstif, tidak masalah. Namun, sering sekali yang jadi ‘peluru’ hal-hal tidak penting. Sudah tidak penting dilebarkan kemana-mana yang mengarah kepada serangan personal dan pembunuhan karakter serta dikait-kaitkan dengan isu SARA,” tukas Fahira di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/07/2019) kepada hidayatullah.com lewat keterangannya.
Yang terbaru ini mengenai karya seni instalasi bambu Getah Getih di Bundaran HI, Jakarta Pusat, yang dipajang untuk kepentingan Asian Games 2018 dan memang diperuntukkan untuk enam bulan saja, menjadi ‘peluru’ untuk menyerang Anies saat memang waktunya harus dibongkar.
Saat semua terklarifikasi termasuk pendanaan yang merupakan bantuan dari 10 BUMD DKI, kini pesan dari hadirnya karya seni berbahan bambu—bukan bahan lain misalnya baja—yaitu menaikkan potensi ekonomi bambu dan memberdayakan petani dan seniman bambu malah dibelokkan ke soal-soal lain yang sama sekali tidak substantif, mengada-ngada, serta tidak masuk akal.
“Kita kebanjiran baja impor asal Tiongkok itu fakta. Kenapa tidak terima dan malah membelokkan fakta ini menjadi sentimen ras. Kalau terminologi Tiongkok saja mereka tidak paham bagaimana mau menjadi pengkritik yang cerdas. Jika paradigma berpikir mereka terus seperti ini, bisa gawat negeri ini,” ungkapnya.
Fahira mengatakan, di negara demokrasi, menjadi seorang pemimpin harus siap menerima konsekuensi yaitu dikritik, dihujat, dicaci, bahkan difitnah.
Rentetan prestasi katanya tidak akan menjamin seorang pemimpin mendapat pujian apalagi pengakuan, malah mungkin semakin berprestasi, serangan akan semakin menjadi. Ini karena, di era kemajuan teknologi informasi saat ini sangat mudah membalikkan fakta.
“Ada,” kata dia, “pemimpin yang biasa-biasa saja, tetapi karena dukungan publikasi ditampilkan seperti dewa tanpa cela.”
Demikian juga sebaliknya, ada pemimpin berprestasi dan hasil kerjanya dirasakan rakyat, tetapi ‘dibonsai; menjadi tidak bisa apa-apa karena prestasinya ditutupi oleh isu-isu tidak substansi yang dihembuskan dengan masif dan rapi, ujarnya.*