Hidayatullah.com– Psikolog Muhammad Iqbal PhD menjelaskan bahwa perilaku crosshijaber yang sedang viral di media sosial belakangan ini bisa dipicu oleh hubungan tidak baik antara seorang anak dengan orangtuanya, terkhusus ibu.
“Hubungan buruk dengan ibu bisa menjadi salah satu faktor yang mendasari munculnya perilaku ini,” ujar Iqbal kepada hidayatullah.com saat diwawancara, Selasa (15/10/2019).
Dekan Psikologi Universitas Mercubuana dan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini menjelaskan, perilaku crosshijaber layak disebut juga transvestisme.
“Perilaku crosshijabers layak disebut juga transvestisme. Yaitu bentuk lain dari perilaku fetis di mana pria merasa nyaman dan senang menggunakan busana wanita, namun tidak memiliki keinginan menjadi transeksual,” ujarnya.
Menurutnya, perilaku crosshijaber biasanya muncul di masa kecil (10 – 12 tahun) atau late childhood yang diasosiasikan dengan hasrat seksual yang intens.
“Alasan menggunakan pakaian wanita dapat berupa usaha untuk menekan kecemasan, atau bereksperimen dengan other gender personality (kepribadian gender lain),” imbuhnya.
Iqbal mengatakan, kurangnya pemahaman peran gender dari ketidakhadiran orangtua di masa remaja anak juga membuat anak remaja kebingungan dan mencoba coba mengeksplorasi semua kepribadian gender yang memungkinkan bagi mereka.
“Salah satunya dengan berpakaian wanita untuk menemukan kenyamanan dan identitas,” pungkasnya.
Baca: Crosshijaber adalah Kejahatan dan Masuk “Tindakan Makar”
Sebelumnya, munculnya fenomena lelaki yang hobi mengenakan hijab/cadar dan bergabung di komunitas atau kegiatan muslimah termasuk salah fenomena penyimpangan orientasi seksual, demikan disampaikan ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel.
“Dari sisi orientasi seksual, ini menyimpang,“ ujarnya kepada hidayatullah.com hari Senin (14/10/2019).
Fenomena tren ini merupakan bagian dari sebuah spectrum, yang semula tertutup kini menjadi lebih terbuka (coming out). Dari sebatas perasaan ke perbuatan, dulu terbatas kini lebih meluas, dan semakin susah untuk dilakukan orientasi kembali, tambahnya.
Pernyataan ini muncul di saat masyarakat tengah cemas maraknya berita di medsos terkait munculnya kelompok crosshijaber, sekelompok pria yang hobi menggunakan hijab/cadar, menyusup masuk dalam kegiatan aktivitas muslimah.
“Ya ini modus untuk mengacaukan tatanan. Bukan ‘sebatas’ mengekspresikan diri, tapi sudah sengaja mengganggu pihak lain,“ tambah dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK)-PTIK.
Ia juga mengatakan, fenomena ini sudah pernah menjadi keresahan masyarakat dan dibahas di Komisi VIII pada tanggal 17 Februari 2016 lalu, khususnya terkait maraknya LGBT.
“Saya teringat pernyataan yang keluar dari rapat Pemerintah dan Komisi VIII DPR pada 17 Februari 2016 bahwa LGBT masalah sosial yang mengancam kehidupan beragama, ketahanan keluarga, kepribadian bangsa, serta ancaman potensial terhadap sistem hukum perkawinan di Indonesia,” ujarnya.
Terkait dengan isu kegiatan mereka yang masuk ke ruang private lawan jenis, ia mengatakan hal ini jelas sangat mengganggu dan bisa masuk delik pidana.
“Pidana sesuai pasal 167 ayat (1) KUHP,” ujarnya. Apalagi kalau menggunakan KUHP baru belum disahkan. Pelaku bisa dikenakan pasal tentang ‘tindak pidana keagamaan’.
Dengan posisi sedemikian rupa yang diangkat oleh Pemerintah di hadapan wakil rakyat itu, ia menafsirkan kaum tersebut juga radikal dan makar.
“Ancaman bagi kehidupan bangsa yang relijius sama dengan ancaman terhadap Pancasila,” ujar alumnus The University of Melbourne ini.*