Oleh: Novitha Sari
Hidayatullah.com | “Ngapain kuliah jauh-jauh Mbak, toh wanita akhirnya masuk dapur juga”. Begitulah kata- kata yang sering dilontarkan oleh warga setempat, ketika tahu akan ada seorang anak perempuan ingin kuliah.
Bagiku tidaklah mudah hidup di tengah masyarakat yang masih memandang sebelah mata perihal pendidikan, apalagi saat ini aku memutuskan akan melanjutkan kuliah di luar daerah.
Kesadaranku mulai tumbuh ketika menempuh pendidikan SMA di pesantren. Bagiku pendidikan bukanlah segalanya, namun untuk kedepannya apalah daya kita.
Contohnya saja ketika berbicara di depan umum tanpa ada gelar yang disandang tentu orang akan menganggap remeh. Syukur kalau cuman itu, kalau dicurigai, bisa lebih buruk kondisinya.
Hanya saja bagi masyarakat pada umumnya, wanita tidak perlu sampai seperti itu. Terlebih nantinya wanita peranannya hanya di dapur saja.
Namun tidak bagiku, wanita harus baik pendidikannya, baik akhlaknya, dan baik wawasannya, karena di depan sana masih banyak peluang kebaikan ketika kita telah memiliki ilmu.
Larangan perihal keputusan yang diambil olehku tidaklah sebatas dari warga setempat, namun kedua orangtuaku pun bersikukuh untuk melarangnya.
Meyakinkan Orangtua
Tetapi jika aku menyerah tentu bukan aku yang sebenarnya. Dengan sekuat tenaga aku memberikan pemahaman kepada kedua orangtuaku, hingga berhari-hari, berminggu-minggu bahkan dalam hitungan beberapa bulan.
Aku terus berusaha memahamkan kedua orangtua bahwa hakikatnya seorang anak perempuan itu bukan hanya sebatas di dapur, tapi ia juga memiliki peranan penting dalam kejayaan Islam. Seorang ustadz pernah berkata, mendidk wanita sama dengan mendidik satu generasi.
Alhamdulillah, Allah memberikan jalan, sehingga sesuai dengan ungkapan bahwa “Hasil tak pernah mengkhianati proses.”
Walaupun pendaftaran sebentar lagi akan ditutup dan masih dengan berat hati kedua orangtuaku menyetujui pilihanku untuk melanjutkan kuliah. Jalan itu terbuka lebar.
Secepat kilat aku berlari untuk bisa mendaftarkan diri dan bergegas membeli tiket pesawat. Ini adalah senjata terbaik untuk sampai pada tujuan. Harapanku sederhana, kelak lulus, aku bisa membawa bukti bahwa perempuan bisa maju pendidikannya dan tentu saja berkiprah bagi masyarakat.
Aku ingin membawa bukti, sehingga kelak paradigma yang mereka pegang kuat bahwa “Kalau ingin anak pintar tidak perlu ibu yang berpendidikan, cukup anak dikasih makan lalu suruh ia pergi ke sekolah dengan rajin” itu bisa diubah.
Sebab, madrasah utama seorang anak ada pada ibunya, bukan sekolah. Lantas bagaimana kalau ibunya tidak cerdas, tidak berakhlak, dan tidak memiliki wawasan peradaban?
Bukankah Rasulullah SAW menjelaskan, “Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam hadist di atas Rasulullah SAW menganjurkan agar memilih wanita yang baik agamanya, dan memiliki kualitas agama yang baik tentu tidak didapatkan dari lahir tetapi harus dengan berbagai pengorbanan dan usaha yang kuat, serta berbagai pendidikan agar tidak hanya kualitas agama yang baik namun juga dibarengi dengan ilmu agar ia mampu membedakan antara kefasikan dan kebaikan.
Ketika seorang ibu yang kualitas agamanya baik maka dapat dipastikan akan dengan mudah melahirkan anak-anak yang sholeh dan sholehah yang mana ketika besar ia akan menjadi pejuang-pejuang islam layaknya Umar bin Khattab, Khalid bin Walid atau ulama ternama seperti Imam Hanafi, Imam Asy-Syafi’i dan lain sebagainya.
Akhirnya kini aku pun tengah menjalankan kuliah, bahkan aku rela tidak pulang dan menahan rindu kepada keluargaku, karena aku telah berazam dalam diri, ‘Sebelum aku menyelesaikan kuliah aku tidak akan pulang, dan ketika telah sukses kelak aku akan kembali dan memahamkan warga setempat akan pentingnya wanita yang akan menjadi seorang ibu itu haruslah berilmu.”*
Mahasiswi STIS Hidayatullah Balikpapan