Hidayatullah.com | SELAIN pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan atau pendiri NU KH Hasyim Asyari, umat Islam Indonesia juga pasti mengenal nama sosok yang akrab disapa A. Hassan atau Hassan Bandung alias Hassan Bangil. Beliau adalah pendiri Persatuan Islam (Persis) di Bandung pada 12 September 1923.
Para pendakwah Islam di jaman dahulu dikenal memiliki keahlian yang multi talenta. Di samping menguasai khasanah Arab, pemikiran Islam, juga menguasai mantiq (logika), yang digunakan sebagai hujjah dan bantahan terhadap lawan-lawan debat.
Dakwah pemurnian Islam yang dijalankan A Hassan misalnya, dilakukan dengan cara lunak dan tenang. Namun tidak sedikit dengan cara perdebatan. Salah satu ‘perang pemikiran’ yang dicatat sejarah adalah debat antara A. Hassan dengan tokoh Ahmadiyah.
Kemenangan gemilang debat A. Hassan pada tahun 1933 dengan gembong Ahmadiyah Qadiyan semisal Abu Bakar Ayub dkk, diungkap dengan menarik oleh Tamar Jaja dalam buku “Riwayat Hidup A. Hassan” (1980: 65, 66).
Dalam buku ini digambarkan bahwa A. Hassan menggunakan jurus jitu yang bisa membungkam Abu Bakar Ayub. Beliau –A. Hassan—membawakan hadits yang terdapat dalam kitab Mirza Gulam Ahmad yang justru mematahkan argumentasi Ahmadiyah.
Menariknya, awalnya A. Hassan tidak mengemukakan sumber dari riwayat yang disebutkannya itu. Pihak Ahmadiyah yang diwakili Abu Bakar Ayub seolah menemukan sasaran empuk untuk merundung A. Hassan. Namun, betapa kagetnya Abu Bakar Ayub ketika ditunjukkan oleh A. Hassan bahwa riwayat itu bersumber dari karya Mirza Ghulam Ahmad (nabi orang Ahmadiyah) yang berjudul “Tuhfah Baghdad”.
Ini adalah bagian kecil dari cerita menarik mengenai debat A. Hassan dengan Ahmadiyah yang disinggung oleh Tamar Djaja. Begitulah sosok A. Hassan dalam berdebat. Kecerdasan, kecepatan, kejenakaan, kelihaian dalam berlogika sering kali membuat lawan debatnya kelabakan.
Meski kemenangan debat ini jelas ada di pihak Pembela Islam yang diwakili oleh A. Hassan, namun di kemudian hari, ada banyak fitnah yang dihembuskan oleh pihak Ahmadiyah. Di antara fitnah-fitnah itu telah diungkap dalam majalah Al-Muslimun edisi 116 dan 119 dengan judul “Ustadz A. Hassan di Depan Hidung Mirzais” yang ditulis oleh Fawzy Sa’ied Thaha. Berikut ini akan diulas enam di antaranya.
Pertama, A. Hassan dituduh sebagai orang yang plin-plan alias mudzabdzab. Fitnah ini ditulis dalam majalah Ahmadiyah Sinar Islam pada bulan Oktober 1977. Menurut majalah ini, waktu debat dengan Rahmat Ali dan Abu Bakar Ayub, A. Hassan berpendapat bahwa Nabi Isa masih hidup, padahal dalam buku Soal Jawab No. 7, hal 75 (keluaran Pembela Islam Bandung) disebutkan bahwa semua Nabi sudah mati. Ini dianggap bertentangan dengan pendapat A. Hassan saat debat dan dianggap plin plan.
Tuduhan Rahmat Ali yang dicomot oleh Redaktur Sinar Islam itu sebenarnya sudah basi atau usang. Sebab, dalam buku “Officiel Verslag Debat” terbitan Persatuan Islam Bandung, A. Hassan menulis bahwa konteks yang dibacarakan tentang matinya semua Nabi adalah hadits yang membincang hidupnya Nabi dalam kubur.
Mengingat haditnya lemah, maka A. Hassan berpendapat bahwa semua Nabi yang telah mati di kubur tidak hidup alias telah berpisah ruh dari badannya. Dengan demikian, yang dimaksud semua Nabi sudah mati adalah yang di dalam kubur. Adapun Nabi Isa, tidak masuk dalam pembahasan ini.
Di sini sangat jelas sekali gaya Ahmadiyah yang kurang elegan menfitnah A. Hassan. Dengan cara mengambil perkataan sepotong-sepotong dan emutilasi data demi kepentinganya. Sebenarnya masih ada fitnah serupa yang digaungkan oleh majalah Sinar Islam. Namun, subtansi tuduhan mereka sama dan tidak berdasar kuat, sehingga bisa dipatahkan oleh Fawzy Sa’ied.
Kedua, dibuatnya kisah fiktif yang menyebutkan bahwa A. Hassan –sebulan setelah debat– di depan R, Muh. Muhjidin (Kebun Sirih) ketika ditanya langsung mengenai pendapatnya tentang Isa sudah wafat atau hidup maka dijawab dengan kira-kira bahwa A. Hassan dalam hatinya lebih mantab dengan kewafatan Nabi Isa, namun karena banyak ulama yang berpendapat bahwa Nabi Isa masih hidup, maka beliau setuju dengan pendapat ulama.
Fawzy pernah menanyakan langsung perihal kisah ini kepada anak almarhum yaitu A. Qadir Hassan. Jawab beliau, “Pertemuan semacam itu tidak pernah terjadi!” Jadi, kisah yang ditulus dalam majalah Sinar Islam itu fiktif alias dusta.
Ketiga, tuduhan Saleh A. Nahdi dalam buku “Mengapa & Bagaimana Kami Masuk Ahmadiyah” (hal 73) A. Hassan disebut sebagai “pandai berlisat lidah”. Kesimpulan ini dia kemukakan setelah membaca buku Verslag Debat antara Pembela Islam dan Ahmadiyah. Tak sampai di situ, Ramhat Ali dan Abu Bakar Ayub disebutnya pandai dan lincah dan memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh A. Hassan, yaitu: kejujuran. Padahal, jika mau jujur membaca buku Verslag Debat itu, justru Rahmat Ali dan Abu Bakar Ayub yang banyak berdusta. Bukan A. Hassan.
Keempat, buku Verslag Debat terbitan Persatuan Islam dikatakan Saleh A. Nahdi tidak dapat ia percayai karena ada catatan tambahan secara sepihak. Sementara itu, terbitan versi Ahmadiyah tidak ada catatan sepihak sehingga lebih bisa dipercaya. Hal ini menimbulkan dua kesan bahwa A. Hassan : (1) Ingin Mengelabui mata orang lain atau (2) Ingin menggunakan kesempatan meraih uang dari kantong orang banyak alias cari uang melalui agama.
Ini merupakan kedustaan yang nyata. Kalau dia jujur membaca dalam pendahuluan buku debat yang diterbitkan Persatuan Islam, intinya tulisan besar di atas merupakan rangkaian murni selama perdebatan. Sedang di bawahnya adalah footnot yang sengaja ditulis sebagai penjelasan lantaran waktu debat terlalu singkat cuma tiga hari, sedangkan pihak Ahmadiyah tidak mau diperpanjang, sehingga keterangan dalam footnote itu pembaca mengerti apa yang diberdebatkan.
Perlu diketahui, Ustadz A. Hassan dalam menerbitkan buku tidak pernah meminta sumbangan. Bahkan, dalam debat pun bila perlu beliau siap membiayai. Maka sangat dusta jika A. Hassan dikesankan sebagai orang yang cari uang melalui agama. Padahal, justru nabi mereka Mirza Gulam Ahmad banyak minta sumbangan dari “umat”-nya.
Kelima, dalam majalah Sinar Islam bulan Agustus tahun 77, dalam rubrik “Tafakkur Sudut” ada kesan bahwa A. Hassan adalah ulama yang menulis tafsir secara porno. Apa sebab? Dalam menerjemahkan surah al-Qalam ayat 42, A. Hassan –menurut majalah itu—mengartikannya, “Bila betis disingkapkan”. Menurut radaktur majalah ini, dengan nada satire orang akan mengira ada dalam buku porno atau roman.
Padahal, A. Hassan tidak menerjemahkan “bila betis disingkapkan”. Tidak ada kata “bila”. Oleh Fawy malah dibalik bahwa mungkin yang porno adalah redaktur Sinar Islam sendiri saat membaca “Saaqin” bibirnya tersenyum dikulum lalu jiwa pornonya berasosiasi pada betisnya Nusrat Jahan Begum, Nawab Mubarakah Begum, Nawab Amatul Hafeedz. “Ini mungkin aja, lho” tulisnya.
Keenam, dalam surat Hasan Tou (salah satu murid Rahmat Ali) dikatakan bahwa dipotongnya kaki A. Hassan (di akhir hayatnya) karena “nubuatan” dari mendiang Rahmat Ali. Pada tahun 1935, Rahmat Ali pernah berkata kepadanya –mengenai A. Hassan- bahwa, “Memang dia tidak akan berhenti, sebelum kedua kakinya dipotong oleh Allah swt.” Dengan kata lain, A. Hassan disebut kuwalat terhadap Rahmat Ali.
Di akhir hayat, kaki A. Hassan diamputasai karena penyakit gula atau kencing manis, bukan karena Rahmat Ali. Fawzy membalas dengen ledekan Mirza Ghulam Ahmad yang kwalat, sebab pernah meramal Syaikh Tsanaullah akan mati kena kolera, tahu-tahu Mirza meninggal diterjang kolera.
Begitulah serangan-serangan di kala A Hassan masih hidup. Namun dalam setiap polemik dan debat, semua fitnah itu lemah dan mudah dibantah.*/ Mahmud B Setiawan