Hidayatullah.com—Kasus kehamilan remaja belia berumur 12 tahun di New South Wales, Australia, merembet ke mana-mana dan menjadi polemik. Mengapa di Negara maju orang tua justru tak perdaya? Polisi mengatakan, mereka tidak punya kuasa. Sementara Departemen Layanan Masyarakat mengaku bahwa pihaknya seharusnya bisa berperan lebih.
Pakar kesejahteraan anak mengatakan bahwa DoCS (Department of Community Services) juga harus memberikan dukungan kepada keluarga yang punya masalah dengan anaknya.
Anggota parlemen setempat yang telah mengangkat masalah tersebut ke permukaan berpendapat bahwa keluarga yang memiliki “anak nakal”, memerlukan lebih banyak dukungan, termasuk berupa perubahan undang-undang jika dianggap perlu.
Cerita mengenai gadis 12 tahun yang dihamili pacarnya yang berusia 15 tahun, telah menjadi berita utama di media dan memunculkan kepanikan moral. Lebih dari itu kasus tersebut menyoroti apa yang terjadi pada keluarga yang tidak memiliki pilihan.
Dawn Fardell, anggota parlemen dari New South Wales yang berasal dari Dubbo, menceritakan tentang ayah gadis itu yang datang kepadanya dalam keadaan resah. Ia mendatangi dirinya setelah sebelumnya ia bicara dengan polisi setempat. Ia mengatakan bahwa para remaja itu ada yang membuat kerusuhan dan kabur dari rumah. Ia juga menceritakan keadaan anak gadisnya.
Menurut Fardell, putri bapak itu seharusnya dikeluarkan dari lingkungan tempat tinggalnya. Ia perlu dipisahkan dari ibunya dan ditempatkan di suatu tempat oleh DoCS agar ia bisa mendapatkan pengawasan yang lebih ketat. Orang tua gadis itu juga dapat meminta DoCS agar turun tangan.
Sementara itu Linda Burney, Menteri Layanan Masyarakat di New South Wales mengakui bahwa departemennya seharusnya bisa berbuat lebih banyak.
“Setahu saya, ketika ayah gadis itu melapor ke Layanan Masyarakat awal Maret lalu, gadis itu diinterview oleh polisi, petugas kesehatan, dan petugas Layanan Masyarakat. Gadis itu tidak ingin ayahnya dituntut. Dan setahu saya ia juga tidak mau mengungkap nama pacar yang menghamilinya. Berkenaan dengan perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak di New South Wales yang sedang berlangsung, kasus ini menegaskan alasan mengapa perlu adanya reformasi Undang-Undang itu,” papar Burney.
Menurut Fardell, keluarga yang anaknya bermasalah atau sulit diatur, kurang mendapat dukungan dan peraturan perundangan, sehingga perlu diubah.
Ia mengatakan, perlu adanya peraturan menyangkut remaja yang kehilangan arah. Anak-anak itu tidak suka dikekang, sementara orang tua mereka juga sebenarnya orang tua yang baik.
Fardell menceritakan bahwa beberapa bulan terakhir ada 10 orang tua yang datang kepadanya meminta bantuan agar dilakukan perubahan undang-undang.
Para orang tua itu kesulitan jika mereka menjalin hubungan dengan orang lain [yang mereka belum resmi menikah], kemudian pasangannya itu menyuruh anaknya cepat pulang atau meletakkan tangannya di bahu anak mereka, maka anak-anak itu akan menggunakan AVO (Apprehended Violation Order–semacam UU KDRT) untuk melawan mereka.
Andrew Mccullum, kepala Association of Chidren’s Welfare Agencies berpendapat lain. Menurutnya, anak-anak yang bermasalah tidak perlu dipisahkan dari keluarganya. Yang diperlukan sebenarnya adalah memastikan bahwa keluarga itu mendapat dukungan dari pemerintah atau lembaga nonpemerintah dalam mengasuh anak mereka. Dukungan itu misalnya, berupa bantuan konsultasi bagaimana menangani anak bermasalah dan bagaimana menjadi orang tua yang lebih baik.
Dan menurut seorang pakar masalah kehamilan remaja, profesor Julie Quinlivan dari Universitas Notre Dame, “Berdasarkan semua bukti yang ada, lebih baik intervensi dilakukan melalui jalur kesehatan dan bukan layanan sosial. Sebab ketika Anda mengetuk pintu dan berkata ‘Saya petugas dari Layanan Sosial’, maka orang akan ketakutan. Tetapi jika Anda berkata, ‘Hai saya perawat dari dinas kesehatan ingin membantu Anda’, maka hal itu akan membuat orang lebih nyaman dan percaya kepada Anda.” [di/abc/hidayatullah.com]