Hidayatullah.com–Di bawah sebuah jembatan layang, seorang pria berkulit gelap sibuk mengobrak-abrik drum besi. Sesaat dihempasnya karung-karung bermuatan besi itu ke tanah. Sejurus kemudian, ditenggaknya segelas air mineral, diiringi isapan mantap pada sebatang rokok, sembari bersandar di body Kopaja.
Pria ini namanya Oni. Tapi jangan heran jika dia tidak berpuasa. Karena memang dia bukan penganut Islam alias non Muslim.
Tak jauh dari tempat Oni beristirahat, seorang anak muda tampak asyik menyeruput teh gelas. Tangan kirinya menggenggam erat selembar tempe goreng. Di ujung tempenya ada bekas gigitan. Dalam jangka waktu sekitar lima menit, tempe itu –setidaknya sudah gorengan ketiga– yang masuk ke lambungnya. Nyaris seiring dengan armada bus Transjakarta yang masuk ke halte busway satu persatu.
Beberapa menit sebelumnya, seorang ibu membeli gorengan di dekat situ. Baru saja ibu itu berlalu, datang lagi seorang ibu yang lain ikut membeli.
“Beli Rp 3.000, ya!” pesan ibu kedua kepada abang si penjual gorengan.
Di belakang penjual gorengan itu, seorang lelaki duduk santai di atas undakan semen. Di belakang jaketnya ada tulisan “CAT”. Di bawah topi pet coklatnya, mengepul asap putih dari ujung bibirnya. Asapnya mengudara, menembus hidung seorang pria berkalung surban yang berdiri di dekat perokok itu.
Asap racun tembakaunya membumbung tinggi ke udara. Bercampur dengan hembusan angin dan gas pembuangan knalpot dari ratusan kendaraan yang berseliweran. Di sekitar situ, puluhan kendaraan lain diam terpaku. Suara klakson sahut-sahutan, menambah riuh suasana. Deru kendaraan di atas fly over sudah duluan menyumbang kebisingan.
Puluhan menit kemudian, pria lain datang dengan mengapit rokok di ujung bibirnya. Di sebelahnya terhidang secangkir kopi yang baru dipesannya.
Tak sampai enam puluh meter di depan, sebuah spanduk besar warna kuning terpampang hampir menutupi separuh Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Kampung Melayu. “Marhaban Yaa Ramadhan.”
Sebuah pesan lain di spanduk yang sama dengan tulisan lebih kecil berbunyi, “Keikhlasan dan ketulusan hati dapat memberikan nilai, bagi sekejahteraan rakyat walaupun hanya dengan setetes air dan sebiji zarrah.”
Di bawah spanduk besar itu, ada tiga spanduk lain ikut unjuk pesan, “Jagalah Bulan Suci, Raih Ridha Ilahi,” demikian tulisnya.
Sindiran Oni
Kamis siang (02/08/2012) itu, matahari memilih sembunyi di balik awan kelabu. Aktifitas Terminal Kampung Melayu seperti bulan-bulan sebelumnya. Deretan pedagang asongan masih tetap ramai diminati banyak pembeli. Asap tembakau tetap menghambur entah dari mulut siapa. Puasa Ramadhan tidak menjadikan lesu bisnis makanan, minuman, termasuk rokok. Walau di siang hari. Bertolak belakang dengan puluhan pesan-pesan spanduk yang ada di sekitarnya, yang berisi mengajak menghormati Bulan Suci Ramadhan atau mengajak menghormati orang yang sedang berpuasa.
Parto, sebutlah begitu, pedagang asongan yang biasa mangkal di samping Halte Busway Kampung Melayu mengaku dagangannya tetap laku meski sedikit sepi dari biasanya.
“Agak sepi juga. Tapi daripada nganggur, mau diapa lagi,” katanya saat bincang-bincang sekilas dengan hidayatullah.com. Sesekali, pedagang dengan rompi biru bertuliskan “Panther” itu tetap melayani pembeli air mineral dan rokok dagangannya.
Di samping Parto, masih berderet teman-teman seprofesinya menjajakan barang dagangan. Ada makanan, minuman, rokok dan lain sebagainya.
Fenomena seperti itu rupanya diperhatikan secara diam-diam oleh Oni. Sebagai penganut agama Kristen, pemulung asal Ambon ini mengaku merasa prihatin dengan penampilan umat Islam. Ia menyebut di kawasan di mana Oni tinggal yang nyaris semuanya Muslim.
“Lingkungan pada nggak puasa semua,” kata pria berkeluarga yang tinggal tak jauh dari Terminal Kampung Melayu itu.
Bagi Oni, kalau orang Jakarta tidak berpuasa, itu sudah tidak asing lagi di matanya. Kalaupun puasa, ramainya paling hari pertama saja. Selanjutnya, tetap saja sebagaimana hari-hari biasa. Itu bukanlah sesuatu yang mengagetkan bagi Oni.
“Paling hari pertama aja,” sindir Oni, dengan senyum agak sinis.
Bagi Oni sendiri, meskipun dia berlainan agama, tapi siapa pun yang mengaku dirinya Muslim seharus berpuasa. Dia merasa, kalau ada orang Islam tidak berpuasa, dia justru merasa aneh.
“Kita ngeliatnya, kok kaya gini (orang Islam, red)?” ujar Oni.
Pendatang yang rumahnya terancam digusur ini banyak bercerita tentang ironi orang-orang Islam yang tidak berpuasa. Di antaranya, ia menunjuk seorang aparat pengatur lalu lintas jalan raya di wilayah terminal itu.
“Liat aja DLLAJ (Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan. Red), petugas-petugasnya ini nggak ada yang puasa. Makan di Warung Tegal (Warteg) semua,” ujarnya dengan mimik serius kepada hidayatullah.com.
Obran dengan mereka cukup banyak hingga tak terasa jam sudah menunjukkan waktu masuk shalat Ashar. Kepada Oni, media ini lantas bergegas menuju sebuah masjid yang tak jauh dari terminal itu.
Waktu telah lewat dan shalat jamaah jamaah pertanda sudah dimulai. Sayangnya, suara adzan sama sekali tak menggetarkan hati-hati manusia di sekitarnya. Pesan-pesan ruhani Bulan Ramadhan dari puluhan spanduk di atas JPO Kampung Melayu seolah hanya menjadi sebuah panggilan bisu.*
Baca juga artikel menarik lain: Tak Puasa? Apa Kata Bang Rhoma?