Oleh: Azimatur Rosyida
PEREMPUAN selalu memiliki rubrik tersendiri dalam ranah perbincangan manusia. Berbagai keunikan dan keistimewaan terkumpul dalam dirinya. Sayangnya, saat ini potensi tersebut lebih dimanfaatkan dalam dunia komersial. Iklan, majalah, tabloid, sealer, hiburan, dan berbagai media lainnya selalu menjadikan perempuan sebagai sosok persuasif untuk menghipnotis masyarakat. Dengan mengatasnamakan HAM, perempuan bisa mengantongi berbagai izin untuk melakukan segala hal. Ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat terbuka selebar-lebarnya. Mengubah hal yang tabu seolah menjadi layak diperbincangkan. Mengubah hal yang asing seolah menjadi umum untuk dipertontonkan. Dari sinilah lubang kerusakan semakin membesar. Kebebasan yang berujung pada kebablasan. Pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan kerap kali terjadi, bahkan tidak sedikit yang terlibat dalam pelaku pornografi-pornoaksi. Berawal dari kesalahan sudut pandang mengenai pemanfaatan peran perempuan justru membawa kepada kelamnya peradaban.
Besarnya peran yang dimiliki perempuan erat kaitannya dengan pondasi keberhasilan dan kemajuan bangsa karena melalui rahimnya generasi baru terlahir. Sebuah kekuatan akan tercipta dari kesatuan tiga peran pentingnya dalam kehidupan berkeluarga bahkan bernegara, yaitu sosoknya yang penyayang, pendidik, dan pengatur. Tentu semua ini berangkat dari sudut pandang yang benar mengenai peran perempuan itu sendiri.
Islam memiliki pengaturan yang detail dan memberikan predikat yang istimewa terhadap perempuan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
“Seluruh dunia adalah perhiasan dan perhiasan terbaik di dunia ini adalah wanita yang sholehah.” (HR. an-Nasa’I dan Ahmad)
Perempuan sholihah memiliki kedudukan mulia dihadapan Allah sekaligus kehormatan di dunia juga teraih. Transaksi jual beli amalnya hanya dengan Allah. Saat keluar rumah ia menutup perhiasannya dengan kerudung dan jilbab karena Allah yang memerintahkan [QS. Al-Ahzab:59 & QS. An-Nur:31]. Ia menundukkan pandangan agar syaitan tidak menyertai pandangannya. Lisannya terjaga dan tutur katanya lemah lembut layaknya Aisyah ra. Ketangguhannya demi membela Islam layaknya Khadijah ra. Lelahnya hidup adalah kebahagiaan selama ridho Allah selalu mengiringinya. Kemarahannya muncul dikala melihat kemaksiatan. Air matanya ia habiskan untuk memohon ampun kepada Allah. Kecantikannya hanya ia peruntukkan kepada seseorang yang halal untuk menikmatinya. Hanya surga yang mampu membayar kemulyaannya. Menjadikan dunia dan seisinya tidak mampu menandingi kenikmatan surga. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi bahwasanya Rasulullah Shalallau ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Satu tempat di surga yang sebesar cambuk lebih baik dari dunia dan seisinya.”
Lebih daripada semua itu, perempuan adalah ibu generasi. Kecerdasannya ia optimalkan untuk mendidik anak yang terlahir dari rahimnya. Dalam Muqoddimah Dustur bab Sistem Sosial dinyatakan, “hukum asal seorang wanita dalam Islam adalah ibu bagi anak-anak dan pengelola rumah suaminya. Ia adalah kehormatan yang wajib dijaga.” Sampai penggambaran akan penjagaan kehormatan wanita adalah sesuatu yang untuk membelanya wajib dikorbankan harta maupun jiwa.
Begitulah cara Islam memulyaan perempuan, tidak lain untuk menjaga kemurnian perhiasan yang ia miliki agar pantas Allah membelinya dengan surga. Tidak akan menggadaikan potensi yang sudah Allah berikan hanya untuk kenikmatan dunia sesaat. Apalah arti pujian orang, jika sehelai rambut saja yang sengaja ia pertontonkan dapat mengundang siksa Allah. Apalah arti waktu yang ia habiskan demi memperoleh lembaran uang, jika anak mengeluh kurangnya perhatian dan kasih sayang dari seorang ibu.
Sudah sepatutnya kehormatan dan kemulyaan perempuan menjadi ujung tombak bagi kemajuan sebuah peradaban. Sehingga pemahaman Islam seperti ini tidak cukup hanya dipahami skala individu saja. Butuh adanya institusi negara yang juga menjamin kehormatan dan kemulyaan wanita terjaga. Sebuah negara yang menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum karena fitroh Islam adalah sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang dulu pernah menjadi sistem kehidupan umat manusia di dua per tiga belahan dunia selama 13 abad.*
Penulis mahasiswi UNAIR Surabaya