Oleh: Abdullah
Hidayatullah.com | DALAM kurun 10 tahun ini, banyak ditemukan lembaga atau institusi yang membantu para mualaf (seseorang yang baru saja memeluk Islam). Bahkan keberadaan mereka saat ini, sangat mudah ditemukan di platform media sosial.
Kemudahan ini, sedikit banyak membantu para mualaf untuk belajar atau menghadapi masalah baru ketika pilihan masuk Islam itu telah ditetapkan. Tapi tahukah Anda? di tempat terpencil, banyak saudara-saudara muallaf banyak mengalami kesulitan, bahkan ujungnya harus kembali ke agama lama.
Bu Rifda, bukan nama sebenarnya, salah satu mualaf di Kasiruta Barat Halmahera Selatan menceritakan ada banyak pemeluk Islam baru di daerah itu terpaksa harus kembali murtad.
“Torang samua satu desa baikrar tahun 2000, sekarang so tarada. Sekarang sisa 26 keluarga yang masih Islam di sini , yang lain so balik,” katanya dalam bahasa Ternanet. (Kami semua satu desa bersyahadat tahun 2000, sekarang hanya 26 keluarga saja yang masih beragama Islam, sisanya sudah balik (murtad)).
Menurut Rifda, di desa yang ia tempati, sebuah desa di Halmahera Selatan ada 140 keluarga. Kondisi memprihatinkan ini menurut Rifda disebabkan banyak faktor, namun faktor utamanya menurutnya, tidak ada perhatian dari umat Islam lainnya.
Baca: Muslim di Spanyol Ungkap Bahwa Setiap Jumat Seorang Warga Menjadi Mualaf
Kondisi yang ditemui Rifda juga terjadi di tempat lain. Seorang mualaf, sebut saja namanya Acil menceritakan kondisi di wilayahnya.
“Torang baikrar so 15 taon, torang tara tau baca Fatihah deng sholat, kong tarada yang kasih ajar,” (Kami bersyahadat 15 tahun yang lalu, tapi saya belum bisa membaca Fatihah dan shalat, tidak ada yang mengajari) kata Acil. “Anak-anak so putus sekolah ,tarada biaya, kong bagaimana lagi untuk makang sulit, kadang ada beras kadang tarada,” (Anak-anak saya putus sekolah, karena tidak ada biaya, bagaimana lagi untuk makan saja sulit, kadang ada beras kadang tidak ada), lanjutnya.
Acil bercerita, sehari-hari ia mencari daun paku, cabe liar dan daun ijuk untuk bahan sapu di hutan. “Kami belum punya rumah atau tanah. Kami menumpang di kebun milik orang, “ lanjutnya saat ditemui di gubug yang terbuat dari kayu bekas.
Gubuknya, sebuah bangunan berukuran 3x 4 meter. Gubug reot ini berada di tengah kebun dan ditinggali bersama suami dan kedua anaknya. Kondisi Bu Acil-bukan sebelas dua belas dengan beberapa keluarga mualaf di wilayah itu, hanya berjarak selemparan batu dari pusat Kabupaten Halmahera Selatan.

Sebagian besar kondisi mereka sangat miskin dan tertinggal. “Kami satu desa bersyahadat tahun 2000. Saat itu ada 68 keluarga yang Islam, namun saat ini hanya tersisa 10 keluarga, yang lain so balik (murtad),” katanya.
Acil menuturkan, di tempatnya, sudah lama tidak ada guru agama alias ustad yang datang untuk mengajar. Sementara di mushola tidak ada lampu (listrik).
“Jadi saat shalat Magrib dan Isya kami bawa lampu ces dari rumah,” katanya.
Acil melanjutkan, bahwa sudah lama sekali tidak ada shalat Jumat di tempatnya. Menurutnya, satu-satunya tempat pemeluk Islam bisa shalat Jumat di Albina, berjarak 1 jam berjalan kaki melewati sungai sedalam pusar dan dihuni banyak buaya.
Baca: Mualaf Pegunungan Tengah Wamena Butuh Bantuan Panduan Belajar Islam
Berbuat sesuatu
Apa yang saya tulis di atas adalah secuil kisah para mualaf di pojok Indonesia timur. Apakah kondisi mualaf di desa-desa terpencil ini hanya terjadi di kabupaten ini saja?
Saya rasa kondisi di atas hanyalah puncak dari gunung es cerminan kondisi mualaf di daerah terpencil lain di Indonesia.
Apa sikap kita terhadap saudara mualaf ini? Padahal jika kita membaca dari buku buku sirah tergambar begitu besar perhatian Rosulullah ﷺ terhadap mualaf ini.
Misalnya pasca Perang Hunain, Rosulullah ﷺ membagikan ghanimah dengan mempriotaskan kepada mualaf dari Makkah dibandingkan Sahabat Nabi, meski kondisi Sahabat Nabi kala itu juga kekurangan secara ekonomi.
Meski saat ini ada lebih dari 50 ribu mualaf di Indonesia (menurut Mualaf Centre Indonesia tahun 2020), tetapi jumlah itu tentu hanyalah puncak gunung es. Terdapat banyak mualaf yang tidak dicatat apalagi yang sempat diperhatikan, terutama di sudut-sudut Indonesia Timur.
Menurut saya, terdapat perbedaan tantangan mualaf di kota-kota besar versus mualaf di desa-desa terpencil dari sisi ekonomi, pendidikan maupun kondisi geografisnya. Bayangkan pada cerita di atas, sudah tidak ada dai yang datang lagi sejak tahun 2003. Artinya sudah hampir 17 tahun mereka diabaikan.
Kisah –kisah ini juga banyak terjadi pada lebih dari 100 keluarga mualaf yang dibina oleh penulis. Karenanya, penulis mengajak umat Islam berbuat, agar bila kelak saat kita dibangkitkan di Padang Mahsyar dan ditanya tentang apa yang sudah kita lakukan untuk saudara mualaf kita di sudut-sudut Indonesia ini, kita mampu menjawabnya.
Mari kita renungkan dan kemudian kita berbuat sesuatu.*
Penulis terlibat dalam program pembinaan mualaf di desa-desa terpencil di Halmahera Selatan