Oleh: Tari Admojo
ISU intoleransi agama kembali menyita perhatian publik, kali ini terjadi di Papua. Publik terhenyak dengan beredarnya surat pernyataan dari Persekutuan Gereja-gereja Kabupaten Jayapura (PGGJ) yang memberikan himbauan kepada umat Islam di Jayapura. Isi surat yang dibuat pada tanggal 15 Maret itu, setidaknya memuat sepuluh permintaan.
Surat tersebut ditandatangani oleh Pendeta Robbi Depondoye, ketua PGGJ. Dilansir beberapa media, Pendeta Robbi Depondoye pun mengkonfirmasi informasi tersebut benar adanya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua, Saiful Islam Payage pun membenarkan isi surat tersebut.
Sebagaimana diketahui, surat tersebut berisihimbauan tentang larangan untuk mengarahkan suara adzan ke luar masjid, mendakwahkan Islam di Papua, menggunakan pakaian bernuansa agama (jilbab) di sekolah, tidak boleh ada mushola di fasilitas publik, pembangunan rumah ibadah harus ada ijin dari PGGJ, masjid tidak boleh lebih tinggi dari gereja dan usulan untuk menyusun Raperda tentang kerukunan umat beragama di Papua.
Pendeta Depondoye mengatakan bahwa agama Kristen merupakan yang pertama datang ke tanah Papua, tepatnya sejak tahun 1916, kemudian disusul dengan masuknya pemerintah dan agama lain ke Papua. Sebagai yang pertama masuk sudah seharusnya agama lain menghormati.
Isu intoleransi begitu menggaung pasca Aksi Bela Islam (ABI), dampak tuntutan umat Islam meminta keadilan terhadap penista agama, dan memperjuangkan apa yang diyakininya, menolak pemimpin kafir.
Intoleransi selanjutnya diangkat banyak media menjadi opini yang menyudutkan umat Islam. Bukalah kata kunci ‘intoleransi’ dilaman BBC Indonesia, maka yang diangkat seluruhnya adalah angle berita dimana Islam sebagai tertuduh intoleran. Entah mengangkat istilah ‘kafir’, penyerangan gereja, hingga merasa perlu mengangkat cuitan tentang seorang muslim yang tidak menerima berdampingan dengan orang yang beda agama di sebuah angkutan umum, menjadi berita ’penting’.
Atau bagaimana media mainstream semacam Kompas, CNN, MetroTV mengangkat isu intoleransi, yang seringkali dikaitkan dengan radikalisme, tentu saja, lagi-lagi Islam yang diposisikan sebagai tertuduh. Lalu apa kabar media mainstream tentang intoleransi di Papua? Apa kabar para ‘pakar intoleran’, mengapa suaramu tak terdengar?
Seandainya alasan yang disampaikan oleh Pendeta Depondoye dibenarkan, bahwa ajaran Kristen bisa terancam dengan adanya simbol-simbol dan dakwah Islam, maka hal ini bisa diungkap secara terbuka. Apa yang menyebabkannya terancam? Apakah ada kekerasan, dan terbukti adanya simbol-simbol Islam dan ajarannya memaksa warga Kristen disekitarnya? Ataukah memang mereka memilih dengan kesadaran, dimana pilihan beragama pun dijamin oleh Undang-Undang? Jika tidak terbukti, bukankah jelas, sikap tersebut adalah intoleransi? Alasan himbauan pelarangan seperti yang tersebut dalam surat untuk menghormati agama Kristen yang masuk terlebih dahulu, sepertinya juga perlu diluruskan. Apa makna menghormati?
Islam pun mengajarkan tentang menghormati ajaran agama lain, termasuk tidak boleh memaksa untuk mengikuti agamanya, hanya diperintahkan untuk menyeru (berdakwah). Melakukan kegiatan ibadah, membangun tempat ibadah sesuai norma, mengenakan pakaian sesuai ajaran agama, tidaklah bisa semena-mena langsung dikatakan berpotensi ‘tidak menghormati’, atau merasa ‘mengancam’ komunitas Kristen yang ada disana.
Sesungguhnya, apa yang diperjuangkan umat Islam adalah bagian dari keyakinannya. Sebuah keyakinan yang dilindungi Undang-Undang. Menginginkan pemimpin muslim dan hukum syariat misalnya, tidak bisa semena-mena langsung dituduhbersikap intoleran. Harus dibedakan mana ajaran agama, mana pemaksaan agama. Bagi seorang muslim ada dasar hukumnya, dalam kitab yang diyakininya. Selama apa yang diperjuangkan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, dan dilakukan tanpa paksaan, maka tak ada alasan untuk menuduhnya intoleran. Termasuk aktivitas dakwah, aktivitas seruan, aktivitas amar ma’ruf nahy munkar, yang juga menjadi bagian dalam ajaran agamanya. Tanpa paksaan, tanpa kekerasan. Menerima silakan, menolak pun tak masalah. Jika keyakinan ajaran agamanya dipasung, lalu untuk apa beragama?
Baca: Masjid Al-Aqsha Jayapura Kerap Sediakan Lahan Parkir Jemaat Gereja
Sejarah telah banyak berbicara, bahwa tuduhan yang tanpa bukti namun dibalut dengan opini yang seolah ‘meyakinkan’, hanya akan menyisakan gelombang kepercayaan yang semakin meningkat. Tengoklah peristiwa WTC pada 11 September 2001 silam. Dunia begitu digdaya menempatkan muslim sebagai tertuduh, hingga cap teroris yang begitu melekat.
Lagi-lagi blow up opini yang digawangi media sekuler, hampir di seluruh dunia, begitu diamini masyarakat global. Nyatanya, saat ini penyebaran Islam di jantung Amerika, Eropa, Inggris tak bisa dibendung lagi. Hingga sentimen rasisme perlu digaungkan demi memicu Islamophobia di berbagai tempat.Tentu saja, demi menghentikan penyebaran Islam yang semakin masive dari dalam negeri, dan dari serbuan para imigran.
Intoleransi, Benarkah Faktor Kesalahan Agama?
Umat sering digiring pada opini bahwa sikap intoleran muncul karena agama. Merasa agamanya sendiri yang paling benar, hingga muncullah gagasan relativisme. Tidak ada kebenaran mutlak. Pemikiran yang konon ‘moderat’ bahkan ‘liberal’ ini dianggap akan mengantarkan pada perdamaian umat beragama. Benarkah demikian? Apakah sikap intoleran adalah kesalahan pandangan kebenaran agama, atau justru lahir dari ketidakbecusan negara dalam mengatur keberagaman agama?
Dalam sebuah esainya yang berjudul “Ideas Were Not Enough”, Mark Koyama menjelaskan bahwa isu ‘toleransi’ atas keragaman agama murni muncul dari kepentingan politik dan ekonomi. Koyama berpendapat bahwa negara-negara Eropa semakin tidak bergantung pada Gereja untuk mendapatkan legitimasi politik, sehingga mendapatkan dukungan rakyat demi kekuasannya, disamping dahulu lembaga keagamaan juga dimanfaatkan untuk berkontribusi pada ketertiban umum.
Seperti yang ditulis oleh Koyama, saat ini institusi negara yang paling tangguh adalah militer, yang kekuasaan, ukuran, dan kemampuan teknologinya semakin tumbuh sepanjang sejarah. Bagi negara modern sekuler, tidak perlu gagasan tentang murka Allah untuk memaksakan kehendak negara, cukup gunakanlah aturan dan daya dukung kekuasaan atas nama demokrasi, termasuk infrastruktur militer negara jika perlu. Sebagaimana ungkapan ekonom Robert Higgs, “Tanpa rasa takut rakyat, tidak ada pemerintahan yang bisa bertahan lebih dari 24 jam”. *>>> (Bersambung)