Hidayatullah.com—Muktamar yang bertajuk “Mardin Darussalam” diselenggarakan pada Tanggal 27-28 Maret 2010, kemarin. Mardin adlaah sebuah kota di propinsi di Turki.
Muktamar ini diselenggarakan dalam rangka membahas fatwa Ibnu Taimiyah, seorang ulama tersohor dari Madzhab Hanbali mengenai kedudukan kota tersebut. Sebelumnya, ketika pasca dikuasai pasukan Mongol, status kota tersebut masih tidak jelas. Apakah termasuk darul Islam atau darul Harb.
Yang dikaji pada muktamar itu adalah fatwa Ibnu Taimiyah merespon pertanyaan mengenai hukum kota Mardin tersebut. Ibnu Taimiyah, kala itu menjawab bahwa wilayah tersebut tidak bisa dinilai sebagai darul Islam, hanya karena tentaranya Muslim dan tidak pula bisa dikatakan sebagai darul harb yang bermakna penduduknya kafir. Namun wilayah itu masuk kepada ketegori ke tiga yakni memberikan hak kepada Muslim sesuai hak mereka dan memerangi mereka yang keluar dari syariat Islam.
Syeikh bin Bayah melihat ada yang berbeda dari fatwa ini, yakni penggolongan wilayah yang keluar dari pembagian darul Islam dan darul harb, yakni kelompok ke tiga yang tidak masuk dalam pambagian sebelumnya.
Dr. Ali Daghi menyatakan bahwa fatwa bisa dibatalkan jika menyebabkan malapetaka namun beliau tetap mengingatkan bahwa yang melakukan hal ini (pembatalan) adalah para ulama rasikh (mumpuni).
Sesi ke dua membahas tentang makna dar, dalam khasanah Islam klasik dan dalam tatanan dunia kontemporer. Kamudian dilanjutkan pada sesi ke tiga membahas latar belakang serta kondisi yang mendasari keluarnya fatwa Ibnu Taimiyah untuk kota Mardin.
Hasil dari muktamar ini, sebagaimana disebutkan dalam siaran persnya, bahwa fatwa tersebut tidak bisa dijadikan sandaran untuk memerangi umat Islam maupun kafir dan alasan untuk memberontak penguasa. Juga tidak bisa dijadikan pijakan untuk menghalalkan darah dan harta mereka yang hidup berdampingan dengan umat Islam.
Disamping itu, hasil muktamar juga menilai bahwa pembagian wilayah merupakan hasil ijtihad, berlaku sesuai dengan karakter hubungan tiap negara. Di mana, tiap negara, kini, telah terikat perjanjian satu dengan yang lain.
Hadir dalam muktamar ini sejumlah ulama dan cendekiawan Muslim dari beberapa negara. Mereka antara lain Syeikh Abudllah bin Bayah dari Mauritania, Dr. Musthafa Cheric selaku Mufti Bosnia, Syeikh Ayid Al Dhusari, pengajar Aqidah di Universitas Malik Saud, Dr. Abdullah Nasif, dan Dr. Hani Abdullah Syakur dari Universitas Malik bin Abdul Aziz, Dr. Abdul Wahhab Nasir At Turairi, Wakil Musyrif situs Al Islam Al Yaum, Dr. Muhammad Syam dari India, Prof. Dr. Arif Ali Nayif dari Uni Emirat Arab, Prof. Ahmad Ozel dari Turki. Syeikh Habib Ali Jufri dari Yaman, Dr. Ali Daghi dari Al Ittahad Al Alami li Ulama Al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Internasional). [mrd/tho/hidayatullah.com]