Hidayatullah.com–Departemen Pendidikan dan Dakwah PPI Yaman menyelenggarakan seminar terbuka dengan tema menarik seputar “Peranan Tasawuf dalam Membangun Peradaban.”
Acara yang diadakan hari Senin (17/12/2012) minggu lalu ini merupakan kerja sama tiga organisasi besar, yaitu Asosiasi Mahasiswa Indonesia Al Ahgaff (AMI Al Ahgaff), PCI NU Yaman, dan Jam’iyyah Wahdatul Iman Darul Mushtafa, acara yang dihelat di Auditorim Fakultas Syariah wal Qanun, Tarim, ini berjalan dengan sukses.
Hal ini terlihat saat para hadirin langsung antusias kala seminar dibuka oleh moderator pimpinan acara. Para hadirin yang berdatangan tidak hanya berasal dari pelajar Indonesia saja, melainkan pelajar dari berbagai negara, mereka ikut terhanyut dalam seminar memenuhi ruangan yang berkapasitas lebih dari 200 orang tersebut.
Seminar akbar kali ini dihadiri oleh dua narasumber terkemuka, Dr. Muhammad bin Abdul Qadir Al Alaydrus, selaku dekan Fakultas Syariah wal Qanun, Universitas Al Ahgaff dan Habib Zaid bin Abdurrahman bin Yahya yang kini menjabat sebagai Kepala Lembaga Penelitian dan Kajian Ilmiah An Nur, Tarim, Hadhramaut. Sebagai moderator seminar, M. Mahrus Ali, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Forum Silaturrahmi Mahasiswa Madura Yaman (FOSMAYA) sekaligus Wakil Syuriah PCI-NU Yaman.
Dalam seminar tersebut, Habib Zaid memberikan pemaparannya dengan mengacu pada Makalah yang berjudul “al Tashawwuff: Mafhumuhu wa Dauruhu (Tasawwuf: Konsep dan Perannya)”, ia mengajak para hadirin untuk mengenal terlebih dahulu apa definisi tasawuf bila dikaji secara etimologi menurut asal katanya.
Peserta diajak untuk mencoba menelusuri pro-kontra antara ulama mengenai definisi tasawwuf secara terminologi. Dalam makalahnya, Kepala Lembaga Kajian An Nur yang juga sebagai Mustasyar PCI-NU Yaman ini memaparkan, sebenarnya eksistensi tasawuf telah termanifestasi dalam banyak ayat Qurani dan hadits Nabawi; seperti konsep tazkiyatun nafs dalam surat As-Syams, dan spirit al-Ihsan dalam hadits Jibril.
Hanya saja kata tasawuf baru muncul ke pemukaan pada pertengahan abad kedua Hijriah. Ulama muda kelahiran Tarim-Hadhramaut tak luput mengulas peran aktif tasawuf dan para sufi dalam kehidupan sosial-dakwah.
“Kita mengenal istilah tasawwuf ala filsufi, yaitu konsep tasawuf yang diusung oleh para pakar filasafat. Dan disisi lain pun harus ada pula konsep tasawuf ala sunni, tasawuf yang diusung oleh kalangan ahli sunnah, dan berdirinya madrasah Hadhramaut ini merupakan bentuk dari penerapan arti tasawwuf Suni tersebut,” tegas Habib Zaid mengawali pembahasan.
“Istilah tasawuf pada dasarnya tidak ada bedanya dengan istilah-istilah ilmu yang lain. Seperti fikih, tafsir, hadits, dan lain sebagainya. Pada permulaan Islam, istilah-istilah tersebut juga belum dikenal, namun tidak dikenalnya istilah tersebut tidak kemudian ia kita vonis sebagai ajaran sesat. Sebab yang terpenting bukanlah nama dan pengungkapannya, tetapi esensi dari nama tersebut. Istilah tasawuf adalah nama baru untuk sesuatu yang ada sejak dahulu,” sambung Habib Zaid yang mencoba menyamakan istilah tasawuf dengan disiplin ilmu lainnya.
Seminar makin seru saat Dekan Fakultas Syariah wal Qanun Univ. Al-Ahgaff Dr. Muhammad Abdul Qodir Al-Idrus yang menjadi narasumber berikutnya menjelaskan beberapa prinsip dan ciri khas dakwah Ahlul Bait Hadhramaut. Menurutnya, salah satu prinsip yang paling kentara adalah Ahlul Bait Hadhramaut sangat menghormati dua kalimat syahadat.
Ulama Hadhramaut tidak akan membid’ah-bid’ahkan, apalagi mengkafirkan seseorang yang telah mengucapkan syahadat, meski tidak sealiran, justru mereka merangkul dan sangat toleran demi persatuan umat. Dengan prinsip inilah dakwah mereka tersebar luas hingga belahan Asia dan Afrika, ujarnya.
Selain menghormati kalimat syahadat, Doktor Muhammad juga memaparkan beberapa prinsip dakwah Ahlul Bait lainnya, prinsip yang telah lama diamalkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Di antaranya, para Da’i Hadhramaut sangat menjunjung tinggi Al-Quran dan Sunnah sebagai way of the life.
Memisahkan Al-Quran dari Sunnah, lanjut sang dekan, tak bedanya dengan memisahkan Allah dari Rasul-Nya. Jadi, Al-Quran dan Sunnah harus diimplementasikan secara bersama-sama. Prinsip ini tidak hanya terlihat dari seluk beluk seharian seorang Da’i Hadhramaut, namun juga bisa kita temukan dari berbagai literatur buah karya Ulama-ulama Hadhramaut.
Menghormati budaya lokal masyarakat setempat juga merupakan ciri khas dakwah Ulama Hadhrami. Ciri khas ini sangat ampuh dan telah dibuktikan dengan diterimanya dakwah Islam yang mereka bawa ke berbagai negara Afrika dan Asia, seperti Indonesia, tanpa ada pertumpahan darah setetespun. Para Ulama Hadhramaut, menurut Doktor Muhammad, juga menyebarkan kasih sayang dan cinta Allah serta Rasul-Nya pada seluruh elemen masyarakat dakwah mereka. Kasih sayang dan cinta inilah yang menjadi poros dakwah santun, menjadikan tatanan masyarakat madani.
Banyak pertanyaan yang muncul dari audiens menjadikan suasana seminar makin meriah.
Hingga tidak terasa acara seminar ditutup dengan pemberian piagam penghargaan dari Ketua DPW PPI Yaman-Hadhramaut, Pandi Yusron kepada dua nara sumber. Acara pun diakhiri tepat pukul 11.15 dengan penutupan doa yang dipimpin oleh Habib Zaid bin Yahya.*/Kiriman Alfin-Amaludin, Yaman