Hidayatullah.com–Aksi unjuk rasa itu dilakukan hari Ahad (19/12) kemarin sebagai bagian dari hak untuk meminta kebebasan dalam menjalankan keyakinan terhadap menjalankan agama.
Seperti diketahui, Turki belakangan ini menjadi sorotan media massa dunia karena pemimpin negara-negara Uni Eropa (UE) setuju untuk memulai perundingan dengan pemerintah Ankara mengenai keanggotaan Turki dalam UE.
Menurut para pejabat tinggi Ankara, Turki masih harus menempuh perjalanan panjang untuk bisa bergabung ke dalam Masyarakat Eropa. Dalam menempuh perjalanan panjang itu, kesan yang terlihat ialah bahwa Turki harus mampu memenuhi berbagai syarat, diantaranya mematuhi nilai-nilai HAM dan menegakkan berbagai kebebasan prinsipal, termasuk kebebasan memegang dan menjalankan keyakinan beragama.
Menteri Kehakiman Turki dan Jubir Deplu Turki memastikan bahwa Ankara akan bisa memfinalkan perundingannya dengan UE dalam tempo lima tahun ke depan. Adanya sebentuk janji pemerintah Ankara ini nampaknya membuat umat Islam Turki merasa menemukan momen untuk mengemukakan kebebasan yang mereka perjuangkan, terutama menyangkut kebebasan menjalankan keyakinan religius.
Karenanya, dalam demonstrasi itu mereka menjadikan isu kebebasan sebagai tema demonstrasi protesnya terhadap pemerintah. Mereka berteriak, ?Kami tidak akan masuk ke dalam UE tanpa kebebasan menjalankan hukum agama.?
Teriakan itu dipekikkan sebenarnya bukan hanya untuk pemerintah Ankara, tetapi juga untuk UE. Umat Islam Turki mempertanyakan; kalau memang kebebesan itu menjadi salah satu syarat masuknya Turki ke dalam Uni Eropa, mengapa umat Islam Turki dibiarkan terkekang oleh larangan terhadap penerapan berbagai ketentuan Islam, terutama menyangkut jilbab.
Dari sisi lain, pada dasarnya umat Islam Turki mengkhawatirkan dampak-dampak buruk masuknya negara ini ke dalam UE, yaitu hilangnya identitas nasional dan nilai-nilai agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Turki.
Namun, karena proses keanggotan Turki ke dalam UE terus melaju ke depan, umat Islam negara ini paling tidak berharap agar isu HAM dan kebebasan yang ikut meramaikan proses itu bisa diaplikasikan untuk mengusut nasib mereka dalam menjalankan keyakinan agamanya.
Sejauhmana harapan itu bisa dipenuhi oleh pemerintah Turki dan UE, jawabannya sangat bergantung kepada sejauhmana komitmen kedua pihak itu kepada nilai-nilai HAM dan kebebasan itu sendiri.
Kehidupan Turki jadi sulit dibedakan dari penampilan Eropa pada umumnya, sekalipun warganya sangat mayoritas muslim.
Pemerintah Turki –yang didominasi militer– telah sejak lama ‘melacurkan diri’ agar bisa diakui menjadi bagian Eropa. Untuk yang satu itu, pemerintah bahkan rela untuk tidak mendengarkan suara rakyatnya yang sesungguhnya ingin kembali dalam pangkuan Islam. (irib/hid/cha)