Hidayatullah.com—Penderitaan etnis Rohingya masih belum berhenti. Hari Kamis (04/04/2014) kemarin, warga Muslim di Hlegu, pinggiran ibu kota Myanmar menjadi korban kekerasan setelah diserang sekelompok ekstremis Buddha dalam sebuah aksi terbaru.
Media lokal, Burma Times melaporkan, sekitar 100 orang ekstremis Buddha melemparkan batu dan kayu ke arah etnis Rohingya di kota itu dan mereka juga mencoba merusak sebuah bangunan serta menghancurkan rumah – rumah dan toko – toko milik warga Rohingya.
Menyusul serangan itu, tercetus pertempuran antara kedua belah pihak mengakibatkan beberapa orang terluka termasuk anggota polisi yang mencoba membubarkan kekerasan tersebut .
Dalam perkembangan terpisah di kota Maungdaw di Rakhine, dua buah kapal militer dilaporkan tiba di Kampung Kyein Chaung dan Bolibazar melalui sungai Pyuma Chaung, lapor Burma Times.
Bahkan yang cukup menyedikan, pasukan keamanan dan kelompok ekstremis di Rakhine justru diduga bekerjasama menindas warga Muslim Rohingya di pedalaman.
Militer Terlibat
Dilaporkan Burma Times, pasukan keamanan yang tiba di desa Htalia, dilaporkan menahan tiga pria Rohingya dengan mengajukan tuduhan palsu yaitu melakukan penyelundupan.
Isteri seorang korban mengatakan, suaminya, Arafat ditangkap oleh pasukan keamanan Myanmar, kemudian dihina dan dipukuli.
“Mereka meminta saya membayar sejumlah uang untuk membebaskan suami saya, namun saya tidak mampu melakukannya, ” kata wanita itu.
Pasukan keamanan dan kelompok ekstremis dikatakan melakukannya akibat keengganan Rohingya menggunakan istilah Benggali dalam sensus yang kini dilakukan di seluruh negara ini.
Menurut warga, kehadiran tentara di kedua desa itu adalah di luar harapan penduduk dan mereka sama sekali tidak mengetahui tujuan kehadiran tentara di tempat itu.
Warga Rohingya kini dalam kondisi dilema dengan kehadiran pasukan keamanan dan pekerja sensus secara simultan memaksa etnis itu mengenalkan diri mereka sebagai Bengali.
Kepala Sensus Myanmar, Dr. Kyaw Maung Maung Thein dan Dr. U Ko Ning dilaporkan pergi ke desa – desa di mana etnis Rohingya berada dan mengadakan konsultasi dengan guru sekolah supaya menulis istilah Bengali pada proses sensus yang akan dilakukan, namun diabaikan guru di situ.
Bukan hanya guru, pemimpin etnis Rohingya serta dokter dan anggota parlemen juga menolak proses negosiasi yang menyarankan penduduk menulis keturunan mereka sebagai entis Benggali , sekaligus memaksa otoritas memanggil pemimpin Rohingya supaya hadir ke Naypyidaw untuk membahas masa depan Rohingya di masa depan.
Sebagaimana diketahui, PBB ikut berperan aktif membantu terselenggaranya sensus, mendesak pemerintah Myanmar membiarkan seluruh penduduk negeri itu menyebut nama etnisnya, Rohingya. Namun pemerintah Myanmar keberatan. Mereka ingin Muslim Rohingya menyebut diri sebagai Bengali.
Bulan lalu, kekerasan pecah di Rakhine ketika ratusan umat Buddha menyerang kantor bantuan medis asal Jerman, Malteser International di Sittwe. Umat Buddha menyatakan bahwa salah satu pekerja kelompok telah salah penanganan bendera agama .
Komunitas Muslim Rohingya di Myanmar telah dianiaya dan menghadapi penyiksaan dan represi sejak kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948 hingga sekarang. Tak ada satupun negeri di dunia, termasuk Amerika bersikap.*