Hidayatullah.com—Ribuan wanita dan anak perempuan rentan berasal dari wilayah utara Myanmar diperdagangkan ke China dan dipaksa menikah dan melahirkan anak.
Dalam laporan hasil studi John Hopkins Bloomberg School of Public Health yang dirilis hari Jumat (7/12/2018), diperkirakan 7.500 wanita dari negara bagian Kachin dan Shan dijual ke para pria di seberang perbatasan (China) antara tahun 2013 dan 2017. Perempuan termuda dijual dengan harga $15.000 (sekitar 217,2 juta rupiah).
Interview dengan lebih dari 400 korban di Myanmar dan China mengungkap bahwa kebanyakan korban dipaksa hamil dan melahirkan anak sebelum dijual ke lelaki kedua.
Seorang wanita menceritakan bagaimana dia diselundupkan dan dijual ke China tiga kali dan setiap kali “dipaksa untuk hamil dan melahirkan anak,” menurut Moon Nay Li dari Kachin Women’s Association Thailand, yang pemimpin studi lapangan di negara bagian Kachin dan Shan yang berbatasan langsung dengan wilayah China, seperti dilansir DW.
Pernikahan mereka sering kali dipersiapkan oleh keluarga pihak wanita atau tetua kampung, yang mana perempuan-perempuan itu tidak bisa menolak.
Anak perempuan sering kali “tidak dapat mengatakan tidak kepada orangtua mereka,” kata Moon Nay Li, dan langsung menikahkan mereka begitu pihak “penjual dan agennya memberikan uang kepada mereka.”
Sementara itu di China, kebijakan satu anak mengakibatkan jumlah pria lebih banyak dibanding wanita sekitar 34 juta. Akibatnya, banyak pria China yang tidak bisa mendapatkan pasangan hidup dan harus mencarinya dari negara-negara lain.
Para pria China yang membeli perempuan asing untuk dinikahi sering kali usianya tua, sakit-sakitan atau mengalami kecacatan tubuh dan berasal dari daerah pedesaan, yang di kalangan suku Han China tidak diminati. Mereka biasanya menjual istrinya ke orang lain setelah melahirkan anak guna mendapatkan uang pengganti yang dikeluarkan untuk membeli istrinya dahulu.
Para wanita yang menjadi korban tidak bisa berbuat banyak sebab mereka tidak memiliki dokumen terkait.
“Korban kawin paksa itu dilanggar hak-haknya dan mengalami penyiksaan disik dan psikis,” kata Courtland Robinson, seorang associate professor di Bloomberg School dan ketua penyusun laporan tersebut.
Sementara hasil studi itu mengakui sebagian wanita yang dijual menjalani pernikahan bahagia, para peneliti menyeru pihak Myanmar agar mengakhiri konflik-konflik berdarah di dalam negeri dan mematsikan warganya memiliki dokumen identitas sehingga mereka bisa bekerja dan tinggal di China secara legal. Myanmar juga diimbau agar melatih petugas anti-perdagangan manusianya agar dapat mengidentifikasi wanita sebagai korban.*