Hidayatullah.com–Terjadi kepanikan di kalangan warga di ibu kota Monrovia ketika kabar tentang kasus infeksi pertama coronavirus di Liberia menyebar lewat media sosial.
Ini adalah negara yang baru saja mengalami wabah Ebola yang juga mematikan.
Liberia, bersama dengan negara tetangganya Sierra Leone dan Guinea, dicabik-cabik dua kali wabah Ebola antara tahun 2014 dan 2015. Wabah itu menewaskan sekitar 11.000 orang, sekitar 4.000 di antaranya meninggal di Liberia saja.
Pendengar siaran radio swasta Truth FM menyuarakan kemarahan mereka lewat sambungan telepon interaktif, setelah pihak berwenang memperbolehkan seorang pejabat pemerintah, Nathaniel Blama, bepergian ke Swiss setelah World Health Organization (WHO) menyatakan pandemi Covid-19. Nathaniel Blama kemudian terbukti positif mengidap coronavirus setelah dites.
Negara-negara yang terdampak paling parah dua wabah Ebola terakhir memiliki sistem kesehatan yang lemah serta kekurangan dokter dan pewarat yang berkualifikasi baik.
Institut Kesehatan Publik Nasional Liberia mengatakan bahwa pada saat ini sudah ada kebijakan-kebijakan untuk menghadapi wabah coronavirus. Namun demikian, pemerintah tidak memiliki dana mencukupi. Sementara rakyat khawatir negara tidak siap untuk merawat pasien apabila coronavirus menyebar di Liberia.
Kepala pejabat kesehatan Liberia ,Dr. Francis Kateh, mengatakan kepada BBC Selasa (17/3/2020) bahwa di seluruh penjuru negara itu hanya terdapat “segelintir” ventilator tanpa menyebut berapa jumlahnya.
“Kami memeriksa ventilator yang berfungsi; kami total dalam bekerja,” ujarnya.
Ventilator merupakan alat medis yang sangat penting dalam kasus coronavirus, sebab gejala yang umum dialami sebagian pasien adalah kesulitan bernapas. Salah satu upaya yang dilakukan dokter adalah menjaga agar pasien tetap hidup, termasuk menyokong pernapasan dengan bantuan ventilator, sampai sistem imunitas di dalam tubuh pasien mampu mengalahkan virus.*