Hidayatullah.com– Sebuah kelompok advokasi Muslim Australia melaporkan Twitter ke Queensland Human Rights Commission, menuding pengelola gagal menindak akun-akun yang menyulut dan menyebarkan kebencian di platfom media sosial itu.
Australian Muslim Advocacy Network (Aman) berargumen bahwa sebagai penerbit Twitter bertanggung jawab atas postingan yang dimuat oleh akun kelompok kanan-jauh yang dikutip dalam manifesto yang dibuat oleh ekstremis pelaku pembangaian 77 orang di Norwegia tahun 2011.
Aman mengatakan pihaknya sudah menghubungi Twitter antar Juli 2020 dan Juli 2021 guna meminta agar platform itu menyingkirkan sejumlah akun yang menyulut kebencian, tetapi Twitter menolak untuk bertindak dengan alasan akun-akun itu tidak melanggar atau sesuai dengan kebijakan platformnya.
Pengaduan yang diajukan ke Commission berisi 419 items, termasuk 29 cuitan yang dinilai menyulut kebencian dan 390 komentar dan kutipan balasan atas cuitan-cuitan tersebut.
Komentar buruk itu antara lain berbunyi “Ramadan artinya membunuh orang kafir” dan Qur‘an seharusnya disebut sebagai “buku pegangan teroris ” atau “memoar setan”, serta Islam adalah aliran sesat yang paling kejam dan kelompok seksual menyimpang. Serta ada gambar-gambar yang menunjukkan Muslim sedang dijejali senjata api ke dalam mulutnya, dan gambar yang menunjukkan Muslim sebagai monyet dan orang primitif yang mengejar orang sambil membawa senjata tajam.
Berdasarkan UU Anti-diskriminasi Queensland, menurut Aman, Twitter sebagai pihak yang menerbitkan akun pihak ketiga telah ikut menyulut kebencian, serta melakukan diskriminasi karena menolak menghapus konten kebencian terhadap Muslim dan Islam.
Dalam pengaduannya Aman juga menyebut Twitter telah melakukan diskriminasi tidak langsung karena tidak mematuhi standar konten yang diberlakukan di Australia pada platformnya.
Rita Jabri Markwell, pengacara Aman, berkata, “Kami ingin Twitter bertanggung jawab atas platformnya. Seharusnya bukan orang awam yang memonitor platform mereka.”
Dalam aturan penggunaan platform Twitter disebutkan bahwa pengguna tidak boleh mempromosikan kekerasan atau menyerang secara langsung atau mengancam orang lain berdasarkan ras, etnis, … orientasi seksual … gender … [atau] afiliasi keagamaan.
Disebutkan pula bahwa Twitter “tidak memperbolehkan akun yang tujuan utamanya menghasut orang agar melukai orang lain atau hal-hal yang termasuk dalam kategori ini.”
Tahun lalu dalam kasus Dylan Voller, pengadikan tinggi di Australia menyatakan bahwa perusahaan media bisa dimintai pertanggungjawaban atas komentar pihak ketiga yang dibuat dalam media sosial mereka.
Pada 2021, Aman berhasil menuntut agar 141 konten yang dibuat oleh politisi anti-Muslim bekas senator Fraser Anning dihapus dari Facebook dan Twitter.
Twitter menolak menghapis konten sebelum ada keputusan pengadilan.
Saat ini Aman juga sedang melaporkan Meta, pemklik Facebookdan Instagram, dalam kasus diskriminasi ras dan pengaduan terkait Pasal 18C ke Australian Human Rights Commission.
“Kami mengambil tindakan hukum ini karena hanya itu satu-satunya pilihan kami saat ini. Kami ingin beban ini (memonitor platform media sosial) dialihkan ke sebuah regulator, semacam eSafety Commissioner,” kata Jabri Markwell seperti dikutip The Guardian Ahad (26/6/2022).