Rabu, 7 September 2005
Hidayatullah.com–Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) mengaku kecewa dengan beberapa pihak yang secara sengaja telah memutar balikkan masalah seolah-olah ada penutupan paksa gereja-gereja di Jawa Barat. Kekecewaan ini disampaikan Ketua FUUI, Athian Ali M, kepada Hidayatullah.com, Rabu (7/9) siang ini melalui saluran telepon.
Menurut Athian, dirinya tak habis pikir, mengapa banyak pihak begitu bersemangat menjadikan isu aksi Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) yang kemudian disepakati adanya penutupan 23 ‘gereja liar’ di Jawa Barat menjadi isu perusakan gereja dan pencabutan SKB tiga menteri.
Menurutnya, aksi yang dilakukan AGAP beberapa waktu yang lalu bukanlah pemaksaan sebagaimana yang diberitakan media massa.
Yang benar, menurutnya, aliansi yang didukung 27 organisasi massa Islam itu melakukan aksi jika ada laporan dari masyarakat tentang adanya ‘pemurtadan’ dan penyalahgunaan ‘gereja liar’.
Aksi 27 ormas Islam beberapa minggu lalu sempat bergulir dan berkembang menjadi isu –bahkan dimuat beberapa media massa nasional– seolah-olah mereka secara kasar memaksa menutup dan merusak gereja-gereja.
Padahal, ujar Athian, kenyataannya, aksi itu bermula ketika ada laporan dari masyarakat tentang adanya pemurtadan. Dari laporan itu, AGAP kemudian mengirimkan tim investigasi untuk menindaklanjuti.
Saat terbukti ada pemurtadan dan pemanfaatan ‘gereja liar’, AGAP langsung berkoordinasi dengan aparat keamanan, mendatangi pihak pengelola gereja dan bersilaturahmi dengan aparat desa setempat.
“Begitu kita sodornya peraturan dalam SKB dan mereka benar-benar menyalahi prosedur, mereka sendiri yang menutupnya. Itupun di bawah pengawasan aparat, “ ujarnya. “Jadi, dari mana isu itu kemudian berkembang seolah-olah kami umat Islam memaksa dan merusaknya?”. Bahkan menurutnya, yang benar adalah banyaknya pemurtadan.
Berkas Pemurtadan
Senin, (5/9), dalam sebuah pertamuan dengan Menteri Agama (Menag) tim FUUI mengakut jengkel atas berkembangnya isu yang tidak adil itu. Karenanya, dalam kesempatan pertemuan itu, ia langsung menyerahkan sejumlah bukti (dokumen) tentang adanya pemurtadan yang dilakukan oleh umat Kristen di Jawa Barat setelah banyaknya laporan yang masuk dari masyarakat.
Sejumlah fakta, baru-baru ini ditemukan FUUI dan AGAP tentang adanya sejumlah pelanggaran berupa pemurtadan yang dilakukan kalangan Kristen kepada umat Islam.
Menurut Athian, pemurtadan banyak ditemukan di sejumlah desa di Bandung. Misalnya, di Cimenyan, Cihideung (Lembang), Dayeuhkolot (Bandung Selatan) , Cisewu (Garut), dan beberapa desa terpencil.
Bahkan sebuah kasus, ujar Athian, adanya pemurtadan dengan cara pemaksaan dalam sebuah keluarga di Cikutra. Keluarga Warso, pria asal Tegal, ditemukan dipaksa masuk agama tertentu oleh beberapa orang tak bertanggungjawab. “Pelanggaran-pelanggaran menyalahi SKB seperti ini yang ditindaklanjuti oleh FUII, “ ujarnya. Anehnya, ujar Athian, “Kita yang dirugikan kok kita yang dituduh melakukan pelanggaran”?.
Ketika ditanya kebaratan kelompok Kristen tentang SKB Menteri, Athian mengatakan secara pribadi dirinya juga tak setuju dengan SKB.
“Secara prinsip, saya pribadi sebenarnya keberatan. Harusnya umat Islam juga tak dilarang berdakwah dikalangan Kristen, atau masuk ke gereja-gereja untuk menyampaikan pesan Islam. Tapi untuk kerukunan, kami (umat Islam) bisa menerima. Itu agar diatur dengan baik,” katanya pada Hidayatullah.com. “Karena itu, kami memahami jika di Bali, di mana umat Islam minoritas, mereka (umat Islam) tak akan semena-mena di saat ada perayaan nyepi. Kok di sini yang jumlah umat Kristen nya satu- dua orang saja berdiri gereja-geraja. Itupun rumah hunian yang dijadikan gereja lagi, “tambahnya.
Sebagaimana diketahui, aksi melawan pemurtadan AGAP di Bandung beberapa waktu lalu, kini mulai membelok pada permintaan untuk pencabutan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 1989 mengenai pengaturan pendirian rumah ibadah.
Sejumlah kalangan Kristen, beberapa minggu ini meminta agar SKB itu dicabut karena dianggap sebagai hambatan untuk mendirikan rumah ibadah. Bagaimanapun, pemerintah harus menjadi pihak penting untuk tetap mengatur pendirian rumah ibadah. Jika tidak, tanpa hukum, masyarakat bisa bertindak sendiri-sendiri dan liar dengan berasalan ‘meresahkan masyarakat’. (Cha)