Hidayatulllah.com- Ketua Komisi VIII DPR RI, Dr. H. Saleh Partaonan Daulay M.Ag, M.Hum mengatakan perkawinan sesama jenis atau biasa disebut Lesbian, Homoseksual, Biseksual, dan Transgender (LGBT) itu bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974.
Secara eksplisit, menurutnya, UU Nomor 1 Tahun 1974 itu menegaskan bahwa pernikahan hanya bisa dilakukan antara laki-laki dan perempuan, maka, pernikahan yang dilakukan di luar itu tentu tidak sah.
“Dari sisi ketentuan umum saja, perkawinan LGBT ini sudah melanggar. Karena itu, negara tidak boleh meregistrasinya secara formal,” kata Saleh hidayatullah.com, melalui pesan singkatnya, Kamis (17/09/2015).
Lebih lanjut, Saleh mengatakan bahwa perkawinan LGBT bukan hanya mengganggu tatanan kehidupan sosial, tetapi juga mengganggu keyakinan maupun nilai-nilai spiritual masyarakat. Hal itu, menurutnya, dikarenakan hampir semua agama memandang pernikahan sebagai suatu ikatan suci dan sakral antara dua orang manusia yang berbeda jenis kelamin.
“Pernikahan sejatinya adalah tradisi dan ajaran agama. Kalau tak memakai tradisi dan ajaran agama tentu tidak ada pernikahan,” cetusnya.
Menurut Saleh, kalau hanya sekedar hidup serumah, itu banyak ditemukan di berbagai tempat. Namun, karena mereka belum ada ikatan lewat ajaran dan tradisi agama itu, maka antara laki-laki dan perempuan yang hidup serumah tetap tidak dianggap menikah.
“Tradisi dan ajaran agama identik dengan pernikahan. Maka, setiap pernikahan tidak boleh melanggar ajaran-ajaran suci agama,” imbuhnya.
Saleh menambahkan menjalin hubungan perkawinan dengan sesama jenis itu tidak bisa diformalkan dan dilegalkan. Sebab, hubungan seperti itu bukanlah pernikahan dan tidak bisa dicatatkan atas nama agama.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Perlu diingat bahwa pernikahan adalah masuk dalam ranah agama, bukan ranah negara,” tegasnya.
Menurut Saleh, tuga negara hanya memfasilitasi serta mencatatkan pelaksanaan pernikahan. Dan pencatatan ini diperlukan untuk menertibkan administrasi serta data kependudukan.
“Karena itu, negara semestinya tidak mencatatkan suatu pernikahan yang menyalahi prinsip-prinsip ajaran agama,” demikian tandasnya.*