Hidayatullah.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta kepolisian membebaskan tiga orang pimpinan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang ditahan di Mabes Polri pada akhir Mei lalu.
Pengacara LBH Jakarta, Tiwi menganggap, penahanan tersebut tidak memenuhi syarat penangkapan. Menurutnya, ada syarat penangkapan, yakni subjektif dan objektif.
“Syarat subjektif seperti kekhawatiran mengulangi perbuatan, kekhawatiran melenyapkan barang bukti, kekahawatiran melarikan diri. Jadi ini tidak terpenuhi secara akumulatif syarat subjektif dan objektifnya,” ujarnya kepada hidayatullah.com di Kantor LBH, Jakarta, Rabu (08/04/2016).
Walaupun, ia mengakui, syarat objektif penangkapan untuk pasal penodaan agama itu hukumannya bisa dikenai penahanan.
“Tapi untuk syarat subjektifnya belum, jadi kami minta untuk dilepaskan,” tandasnya.
Sebelumnya, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan, ketiga pimpinan itu bukan ditangkap, tetapi ditahan karena adanya dugaan penistaan agama yang meresahkan masyarakat.
Ia menambahkan, hal itu juga karena telah adanya pelarangan dari Kementerian Dalam Negeri melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait pelarangan Gafatar dan organisasi sejenis.
“Karenanya, penahanan ketiganya bertujuan untuk lancarnya proses pemeriksaan dan demi keamanan mereka,” kata Boy.
Selain dugaan penistaan agama, pimpinan Gafatar juga ditahan terkait dugaan makar.
Sementara itu, Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia Pusat, Rida H.R Salamah mengatakan, MUI sudah mengeluarkan fatwa nomor 6 tahun 2016 tentang kesesatan Gafatar.
“Diantaranya adalah soal syahadat yang baru, tidak ada kewajiban shalat, zakat dan puasa,” ujarnya ketika ditemui hidayatullah.com seusai menjadi saksi ahli agama Islam pada kasus Gafatar di Bareskrim Mabes Polri beberapa waktu lalu.
Rida menjelaskan, bahwa syarat ajaran itu harus disampaikan di tempat umum, dan disampaikan secara terbuka. Apalagi, sambungnya, ajaran Gafatar telah menyamarkan pokok-pokok ajaran Islam dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan tanpa menggunakan kaidah tafsir yang mu’tabar, bahkan mereka menafsirkan ayat-ayat dengan kitab suci agama lain.
“Mereka ingin menyatukan Islam, Kristen dan Yahudi. Diramu menjadi suatu ajaran bernama Millah Abraham atau Millah Ibrahim, disitulah yang walaupun mereka tidak mengakui ini adalah sinkretisme, tetapi pada prakteknya ajarannya dilebur menjadi satu kesatuan,” pungkasnya.*