Hidayatullah.com– Ekonom senior, Rizal Ramli, menyebut adanya ketidakadilan pemerintah terhadap rakyat Papua, terutama pada aspek ekonomi. Diketahui, kondisi sosial masyarakat Papua dan Papua Barat belum sepenuhnya stabil, meskipun berangsur kondusif.
Rizal mengatakan, negara yang adil pasti dicintai rakyat. Semakin gencarnya seruan Papua ingin merdeka, hal ini justru perlu dijadikan bahan introspeksi untuk pemerintah.
“Misalnya ingin merdeka, itu ungkapan ketidakadilan. Makanya dulu Gus Dur justru merangkul,” ujarnya, Senin kutip INI-Net, Selasa (27/08/2019).
“Kita adalah saudara. Kalau ada kelemahan, pemerintah pusat ngaku minta maaf. Kita perbaiki jangan sampai menggunakan kekerasan sebagai jalan satu-satunya,” tambahnya.
Baca: Pengibaran Bintang Kejora Depan Istana dinilai Mengoyak NKRI
Rizal mengaku bahwa ia pernah nyaris diadili di Kejaksaan Agung (Kejagung) karena memperjuangkan Freeport untuk Papua. Saat itu, ratusan tokoh Papua pun datang ke Kejagung dengan mengenakan koteka, pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki khas Papua.
“Kawan-kawan Papua tahu persis bahwa saya memperjuangkan agar dana otsus (otonomi khusus) bermanfaat bagi Papua. Bahkan pada zaman Gus Dur, saya berjanji kalau ada hasil negosiasi, manfaatnya itu terutama untuk rakyat Papua,” ungkap pria yang akrab disapa RR ini.
Mengutip perkataan Gubernur Papua Lukas Enembe, rakyat Papua itu tak butuh jalan-jalan tol, namun mereka ingin hidup yang enak dan nyaman. Ironisnya, kata RR, anggaran pemerintah sebesar Rp 62 triliun per tahun untuk 3,5 juta rakyat Papua dinilai belum tersalurkan dengan baik.
Menurutnya, rakyat di kampung-kampung dan di gunung-gunung, nyaris tidak menerima apa-apa karena dikorupsi oleh pejabat Pusat dan pejabat Papua.
“Karena hari ini kalau Rp 62 triliun dibagi tiga setengah juta orang, itu berarti tiap orang mendapatkan Rp 17,7 juta, tapi rakyatnya enggak dapat apa-apa,” sebutnya.
Baca: Teroris Bersenjata Ancam Warga Papua di Jayawijaya, Aparat Tembak Mati
Dalam moment Pilpres 2019 lalu, RR mengusulkan pergantian sistem subsidi seperti di Alaska. Alaska punya gas dan minyak Bumi melimpah dan penduduknya diberikan ATM setiap bulannya untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah Amerika Serikat.
“Jadi, doakan ini bisa. Saya mau tiga setengah juta penduduk Papua dikasih ATM di desa-desa,” akunya.
RR pun mendesak agar Undang-Undang tentang Dana Alokasi Khusus (DAK) yang merupakan produk kebijakan tahun 2000 itu segera direvisi.
“Dulu itu, saya membuat UU desentralisasi tapi pelaksanaannya Pak Habibie nggak sanggup, keburu diganti,” akunya.
Menurutnya, UU DAK perlu diubah segera supaya daerah-daerah penghasil mineral emas, tembaga, dan nikel seperti Papua, serta sumber daya perikanan atau maritim di Maluku, turut mendapatkan hasil dari ekspor. Jadi, hasilnya bukan dinikmati oleh pengusaha saja.
“Kita harus ubah undang-undang itu sehingga Papua yang banyak migasnya, SDA-nya, menerima manfaat dari kegiatan ekspor,” ungkapnya.
Baca: LBH-YLBHI Kecam Diskriminasi Rasial atas Mahasiswa Papua
Pengubahan sistem subsidi dan UU DAK itu didasari fakta bahwa penyaluran dana untuk rakyat Papua, rentan dikorupsi kalau melalui birokrasi. “Sekarang kan pendekatannya proyek. Segala macam diproyekin,” ujarnya.
Sebelumnya, pasca kerusuhan di Manokwari, Papua Barat, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengaku akan tetap menjaga kehormatan dan kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat.*