Hidayatullah.com—Polemik yang terjadi di Desa Wadas baru-baru ini telah menjadi perhatian bagi masyarakat luas. Tindakan represif oleh aparat terhadap masyarakat yang menolak proyek di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo pun menjadi sorotan.
Proses pengukuran lahan di Desa Wadas oleh Badan Pertanahan Nasional pada Selasa (8/2/2022), memicu ketegangan. Proses pengukuran tersebut dalam rangka proyek penambangan batu andesit yang akan digunakan untuk pembuatan Waduk Bener.
Ribuan petugas gabungan, TNI, Polri dan Satpol PP Kabupaten Purworejo yang dikerahkan untuk mengamankan jalannya proyek dilaporkan melakukan tindakan represif terhadap warga. Aparat disebut sempat menahan beberapa warga, mematikan listrik dan internet, dan upaya menghalangi pemberitaan kejadian dilaporkan terjadi.
Hingga kini situasi di Desa Wadas pun masih tegang dengan jalan penyelesaian yang belum menemui titik terang. Hidayatullah.com merangkum beberapa fakta dari berbagai sumber terkait polemik di Desa Wadas, sebagai berikut:
Proyek Strategis Nasional
Desa Wadas diketahui akan menjadi calon lokasi Proyek Waduk Bener, maka dari itu dilakukan pengukuran lahan oleh sekitar 70 petugas BPN. Adapun luas area yang akan dibebaskan untuk pelaksanaan proyek tersebut diketahui mencapai 124 ha.
Proyek pembangunan Waduk Bener tercantum dalam Perpres Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres No. 3/2016 tentang Percepatan Pembangunan Proyek Strategis Nasional.
Diketahui, proyek Bendungan Bener yang dikerjakan oleh perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Brantas Abipraya (Persero) itu bakal menjadi bendungan tertinggi di Indonesia dan menjadi tertinggi kedua di Asia Tenggara. Hal itu dikatakan oleh Direktur Operasi 1 Brantas Abipraya, Catur Prabowo.
“Iya, nantinya bendungan ini akan menjadi yang tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 159 meter, panjang timbunan 543 meter, dan lebar bawah sekitar 290 meter,” jelas Catur, dilansir oleh Kompas.com.
Pembebasan lahan yang akan dijadikan sebagai proyek Waduk Bener tersebut ditolak oleh warga desa karena lahan tersebut menjadi sumber kehidupan dan mata pencaharian dari warga yang sebagian besar adalah seorang petani. Sehingga dikhawatirkan pendapatan mereka nantiya akan terancam jika lahan tersebut dialih fungsikan.
Tindakan Represif Aparat
Dalam pengukuran lahan pada Selasa yang akan menjadi proyek Waduk Bener, petugas BPN dikawal oleh 250 petugas gabungan dari TNI, Polri, dan Satpol PP Kabupaten Purworejo guna mengantisipasi terjadinya ketegangan. Aksi pengepungan polisi di Desa Wadas itu juga dilaporkan disertai dengan tindakan represif.
Aparat polisi, sebut akun @Wadas_Melawan, sempat memasuki rumah-rumah warga tanpa seizin pemilik rumah. Mereka juga membawa paksa lebih dari 60 orang dengan alasan yang tidak jelas.
“Kami mencatat ada sekitar 63 warga Wadas yang ditangkap oleh aparat dan hingga pagi ini mereka belum kunjung dibebaskan. Seementara kondisi di Desa Wadas sejak kemarin hingga pagi ini masih dipenuhi dengan ratusan aparat dan listrik padam sejak semalam,” ungkap akun yang terus mengabarkan kondisi terkini di Wadas tersebut.
Tak hanya itu, polisi kembali menangkap puluhan warga, anak kecil, serta para pemuda yang hendak salat di masjid. Warga pun kesulitan untuk mendapatkan sinyal internet karena ada indikasi sinyal di-take down sehingga terhambat mengabarkan kondisi di lapangan.
Selain itu, sejumlah ibu-ibu warga Wadas sempat terjebak di masjid Dusun Kranjan pada Selasa. Sementara itu warga yang membantu ibu-ibu keluar dari masjid langsung digelandang aparat. Di tengah kepungan aparat kepolisian, warga di luar masjid masih mencoba mencari cara mengantar minuman kepada warga yang berada di dalam masjid.
Tindakan represif aparat tersebut dikecam oleh berbagai pihak, seperti Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan berbagai LBH lokal lainnya.
Bantah Klaim Pemerintah
Kabid Humas Polda Jateng menyatakan alasan penangkapan warga adalah karena membawa sajam dan parang. Wakapolda Jateng, Brigjen Pol. Abioso Seno Aji, S.I.K mengatakan bahwa mereka diamankan untuk digali informasinya kenapa mereka membawa senjata tajam ke lokasi.
Menanggapi hal tersebut, YLBHI menyatakan bahwa pernyataan Polda Jateng tersebut adalah penyesatan informasi.
“Pada faktanya berdasarkan informasi dari warga, polisi mengambil alat-alat tajam seperti arit, serta mengambil pisau yang sedang digunakan oleh ibu-ibu untuk membuat besek (anyaman bambu),” ungkap Ketua YLBHI Zaenal Arifin dalam keterangan tertulis, Rabu (8/2/2022)
YLBHI juga membantah pernyataan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo di beberapa media yang mengatakan tidak ada kekerasan dan keberadaan kepolisian untuk melakukan pengamanan dan menjaga kondusifitas.
“(Hal itu) adalah pembohongan publik. Pada faktanya pengerahan ribuan anggota kepolisian masuk ke wadas merupakan bentuk intimidasi serta kekerasan secara psikis yang dapat berakibat lebih panjang daripada kekerasan scara fisik,” ungkap YLBHI.
Pro-Kontra Warga
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara mengatakan bahwa dari data lapangan, diketahui bahwa dari 617 warga Wadas yang tanahnya akan dijadikan lokasi penambangan, 346 warga sudah menyetujui.
“Dan informasi yang kami dapatkan, pengukuran akan dilakukan pada lahan warga yang sudah setuju. Maka kami menyayangkan terjadi kasus seperti ini sampai ada penangkapan,” ucap Beka, dilansir oleh Liputan6.com, Rabu (9/2/2022).
Komnas HAM mengatakan telah berupaya menjadi mediator atas permintaan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, dengan menggelar dialog.
Sementara, Menkopolhukam Mahfud MD Mahfud mengatakan apa yang terjadi di Desa Wadas, Jawa Tengah adalah gesekan antara warga yang setuju dan menolak pembangunan proyek pertambangan dan bukan gesekan dengan aparat.
“Gesekan itu hanya ekses dari kerumunan warga masyarakat sendiri yang terlibat pro kontra atas rencana pembangunan dan Polri hanya melakukan langkah pengamanan di dalam gesekan antar warga itu,” kata Mahfud, Rabu (9/2/2022).
Pernyataan Mahfud tersebut langsung dibantah oleh lembaga lingkungan hidup Walhi yang mengatakan pengerahan aparat di desa itu terhadap warga yang menolak penambangan batu andesit untuk pembangunan Bendungan Bener, adalah tindakan “membabi buta” dan merupakan bentuk “penyelewengan”.
Sementara Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi, Satrio Manggala, Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2018 Tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional kerap dijadikan alasan atas pengerahan aparat, sekaligus pembungkaman atas suara kritis warga yang menolak.
“Faktanya, di pembangunan proyek strategis nasional polisi selalu mengerahkan kekuatan berlebihan di lapangan untuk menghadapi masyarakat, terutama yang menolak,” kata Satrio kepada BBC News Indonesia, Rabu (9/2).
Proyek Tetap Berlanjut
Mahfud MD mengatakan penolakan penambangan tidak berpengaruh pada rencana pembangunan. Dengan begitu proyek ini akan terus berjalan.
“Penolakan sebagian masyarakat itu tidak akan berpengaruh secara hukum karena tidak ada pelanggaran hukum pada rencana pembangunan atau penambangan batu andesit di Desa Wadas,” kata Mahfud melalui konpres seperti dikutip Hidayatullah.com, Kamis (10/02/2022).
Mahfud mengatakan saat ini kondisi di Desa Wadas tenang dan damai, situasinya juga normal dan kondusif, seluruh warga yang sempat diamankan di Polres Purworejo juga sudah di pulangkan. Ia mengklaim tidak ada korban, tidak ada penistaan atau penyiksaan.
Sementara itu, Mahfud turut menjelaskan mereka warga yang menolak pembangunan ini sudah pernah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Namun hasilnya gugatan mereka ditolak, bahkan sampai dengan tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
“Artinya program pemerintah itu sudah benar. Sehingga kasusnya sudah lama inkrah atau berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.*