Hidayatullah.com- Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Sholahuddin Al-Aiyub tidak setuju RUU Omnibus Law Cipta Kerja –sebelumnya RUU Cipta Lapangan Kerja/Cilaka– yang memberikan wewenang fatwa halal kepada selain MUI.
Diketahui, dalam drat RUU Cilaka/Ciptaker, wewenang fatwa halal juga diberikan kepada ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia.
KH Sholahuddin mengatakan, pemberian wewenang fatwa halal kepada semua ormas akan membuat standar halal di Indonesia menjadi rancu.
Berbeda dengan bidang lain atau fatwa biasa, fatwa halal termasuk dalam fiqih qadhai. Artinya, fatwa halal ini sifatnya final dan mengikat karena sesuai dengan ketetapan negara yang berlaku.
“Sifat fiqih terbagi menjadi dua, yakni fiqih biasa dan fiqih qadhai, untuk opini fikih atau fatwa biasa, setiap ormas memiliki kewenangan yang sama untuk menetapkan hukumnya, hal ini memungkinkan adanya perbedaan putusan dalam satu varian,” ujar Kiai Sholahuddin dalam keterangan tertulis MUI kepada hidayatullah.com semalam (21/02/2020).
Baca: Komisi Hukum MUI: RUU Ciptaker Bisa Picu Disharmoni Ulama dan Ormas Islam
Kiai Sholahuddin menjelaskan, perihal sertifikasi halal ini berbeda dengan fatwa-fatwa umum yang dikeluarkan oleh ormas Islam yang disesuaikan dengan jamiyat ormas yang bersangkutan. Hal demikian dalam ilmu fiqih disebut fiqih biasa. Di dalamnya, setiap ormas memiliki kewenangan mengeluarkan fatwa hukum dan fatwa tersebut sifatnya tidak mengikat.
Berbeda dengan fiqih qadhai, di dalamnya tidak diperbolehkan ada perbedaan pendapat atau dalam kata lain wewenang fatwa tersebut tidak bisa dijalankan oleh beberapa atau banyak pihak. Sekalipun acuan penetapan fatwanya sama, namun penetapan fatwa antar satu ormas dengan ormas besar kemungkinannya berbeda.
“Misalnya, ada sepuluh pendapat, ketika negara atau yang ditunjuk oleh negara mengambil pendapat A, maka yang berlaku adalah pendapat tersebut. Itulah fiqih qath’i. Jadi tidak dibuka peluang pendapat setelah itu. Jika dibuka, maka akan terjadi kekacauan keputusan fatwa” jelasnya.
Baca: RUU Ciptaker “Hapus” Wewenang Tunggal MUI pada Fatwa Halal
Kiai Sholahuddin menjelaskan bahwa MUI adalah wadah yang paling ideal melaksanakan sertifikasi halal.
Di dalam MUI, khususnya komisi fatwa, terdiri dari ulama dari berbagai latar belakang ormas Islam. MUI menjadi rumah bersama ormas Islam karena setiap ormas Islam memiliki perwakilan di MUI.
Di MUI, terhimpun para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim mulai dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Mathlaul Anwar, Al Ittihadiyah, PERSIS, Al Washliyah, PUI, Hidayatullah, dan puluhan ormas Islam lain yang bila ditotal mencapai sekitar tujuh puluh ormas.
Oleh karena itu, fatwa yang ditetapkan di MUI juga menjadi cerminan dari fatwa yang sudah dibahas oleh ulama dari berbagai latar belakang ormas.
Hal ini tentu saja berbeda jika fatwa diberikan kepada semua ormas. Yang nanti terjadi adalah setiap ormas, meskipun memiliki acuan yang seragam, namun hasil fatwanya nanti berpotensi berbeda-beda, khususnya pada produk-produk yang masih abu-abu kehalalanya.
Baca: IHW: Bahaya Jika Peran Tunggal MUI pada Fatwa Halal Disingkirkan
Hulu RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini disebut-sebut karena tidak ada satu perusahaan pun yang berinvestasi ke Indonesia setelah keluar dari China akibat perang dagang China-Amerika. Sehingga pemerintah berupaya keras menciptakan iklim investasi Indonesia yang baik, salah satunya perbaikan dan kepastian regulasi. Namun, Kiai Sholahuddin menambahkan, sekalipun ingin menciptakan kondisi investasi yang ideal, namun tidak perlu sampai menihilkan prinsip-prinsip sertifikasi halal.
“Memudahkan investasi boleh saja, tapi jangan sampai menghilangkan prinsip-prinsip sertifikasi halal yakni jaminan keyakinan dari prinsip keagamaan, sayangnya Omnibus Law RUU Cipta Kerja justru mencederai prinsip itu,” ujarnya menegaskan.*