Hidayatullah.com–Sabtu malam, kelompok ekstremis kanan mengganggu parade kaum homoseksual di ibukota Yunani, Athena. Mereka melemparkan telur dan batu kepada ribuan kaum homoseksual dan lesbian yang berunjuk rasa untuk legalisasi pernikahan sejenis. Maklum, di Yunani, masalah homoseksualitas masih merupakan masalah yang peka. Ini terlihat pada perkara menarik yang Selasa besok ditangani pengadilan Athena.
Di peta dunia, Lesbos berada di sisi timur Yunani. Pulau ini merupakan pulau terbesar ketiga di Yunani dengan luas sekitar 1.630 kilometer persegi.
Yang menarik, selama bertahun-tahun penduduk pulau ini mengaku sangat tertekan dengan penggunaan istilah “lesbian” yang selama ini sering dinisbatkan kepada para penganut orientasi seksual sejenis untuk kaum perempuan.
Menurut tokoh masyarakat Pulau Lesbos, Dimitris Lambrou, arti kata “lesbian” saat ini dianggap telah melanggar hak asasi penduduk pulau, dan mempermalukan mereka di mata dunia. Yang jelas, penyebutan kata “Lesbian” sangat mengganggu kehidupan sehari-hari warga Pulau itu.
Kerena itulah, April, dua bulan lalu, penduduk Pulau Lesbos mengadukan gugatan ke pengadilan guna menuntut agar istilah lesbis dan lesbian, selanjutnya hanya boleh digunakan oleh penduduk pulau sendiri. Gugatan ini ditujukan kepada Perhimpunan Homoseksual dan Lesbian Yunani.
“Perempuan homoseksual mencuri kata itu dari kami,” kata Dimitris Lambrou, salah satu penggugat dan penerbit sebuah majalah religius-arkeologis. “Wanita Lesbos merasa sangat terganggu olehnya. Kakak saya tidak bisa berkata dirinya ‘Lesbia’ warga pulau Lesbos, karena langsung ditertawakan orang. Dia harus menjelaskan dia bukan lesbian, tapi berasal dari pulau Lesbos.”
Bagi warga Lesbos, pemaknaan lesbis dengan makna seksual, begitu sangat mengganggu. Sementara penduduk Lesbos sudah ribuan tahun menamakan diri demikian. “Jati diri kami dicuri oleh wanita-wanita tertentu yang tidak punya hubungan apa pun dengan Lesbos.”
Sementara itu, para penganut kelainan seksual dan penyuka sesasama jenis tetap ngotot terhadap keberatan warga Lesbos. Evangelia Vlami, juru bicara Perhimpunan Homoseksual dan Lesbian mengatakan, “Istilah itu sudah dipakai ribuan tahun untuk menamai perempuan yang tertarik pada sesama mereka,” ujarnya dikutip sebuah media Belanda.
Sejarah Sappho
Kaum homoseksual dan lesbian wajar membela diri. Penyebutan istilah “lesbian” bagi mereka yang memiliki kelainan seksual sesama perempuan, penggunaan istilah itu diklaim telah berjakan ratusan tahun. Lagi pula, mereka, nampaknya sudah nyaman dengan sebutan itu, meski sangat “menyakitkan” bagi warga pulau Lesbos sendiri.
Grigoris Vallianatos, pengacara dan anggota perhimpunan kaum homoseksual dan lesbian mengatakan, “Ini adalah masalah intoleransi dan diskriminasi kaum homoseksual Yunani, masyarakat konservatif yang masih menganggap tabu homoseksualitas,” katanya.
Bahkan bagi Vallianatos, gugatan penduduk Lesbos berdampak diperkirakan akan berdampak lebih jauh. “Ini bukan hanya soal perempuan lesbis Yunani, tapi ratusan juta perempuan di seluruh dunia. Haruskah kami menganggap serius, bahwa sebuah pengadilan Yunani memutuskan bagaimana semua perempuan itu harus menamakan diri?,” ujar Vallianatos membela diri.
Sebagaimana diketahui, istilah “lesbian” bermula dari kisah dewi dan penyair dari mitologi Yunani, Sappho. Kata “lesbian” diambil dari kata Lesbos, tempat kelahiran penyair Sappho. Ia banyak menulis syair-syair cinta terhadap sesama perempuan pada abad ketujuh sebelum Masehi. Kata-katanya yang penuh luapan emosi dinyanyikan, dengan iringan kecapi.
Di zaman Yunani purba sangatlah jarang seorang perempuan menulis puisi. Lebih jarang lagi seorang perempuan menulis puisi, apalagi mengungkapkan perasaan terhadap sesama perempuan. Konon, Shappo, kala itu, dipuji-puji oleh pemikir Yunani seperti Plato yang menyebutnya ‘dewi kesenian kesepuluh’. Dari cerita ini, tiba-tiba Shappo diyakini sebagai cikal-bakal lahirnya kelainan seksual dan penyuka sesama jenis. Munculnya istilah “lebian” tak lain mengambil nama tempat di mana Shappo lahir dan tinggal, yakni Pulau Lesbos.
Sejak itu hingga kini, Pulau Lesbos menjadi semacam menjadi tempat ziarah bagi kaum perempuan penganut sesama jenis, lesbian.
Namun belakangan, penemuan terbaru menunjukkan, cerita Shappo yang penyuka wanita itu tak benar. Menurut Lambrou, penelitian terbaru mengungkapkan bahwa Sappho justru memiliki keluarga, dan mengambil nyawanya sendiri karena masalah cinta terkait seorang pria.
Para penduduk pulau Lesbon mengatakan jika mereka sukses dalam kasus gugatan ini mereka akan menantang pemakaian kata “lesbian” di tingkat dunia.
Jika pengadilan memenangkan gugatan ini, maka, skitar 100.000 penduduk pulau nomor tiga terbesar di Yunani –ditambah 250.000 warga Lesbos yang hidup di luar pulau itu—akan berhak menggunakan kata “lesbia” atau “lesbian.”
Lantas bagaimana dengan masyarakat homoseksual dan kaum yang pernah diluruskan nabi Luth ini? Ya, terpaksa mereka harus mengganti sebutan baru untuk kelainan pada orientasi seksualnya ini. [cha, dari berbagai sumber/hidayatullah.com]