Hidayatullah.com– Guncangan itu membuat lantai terasa bergelombang, dinding menggedor-gedor, dan atap bergeretak mengeluarkan suara yang mencekam.
Tak lama berselang, gemuruhnya kian jelas. Suasana tiba-tiba mendadak kacau. Dalam hitungan detik, terdengar banyak barang terbanting, kaca pecah, hingga akhirnya dinding retak dan mulai berhancuran.
“Aku segera meraih anakku, memeluknya dengan erat, dan membiarkan punggungku terhantam reruntuhan demi melindungi bayi yang baru kulahirkan sehari lalu.”
Begitulah cerita seorang ibu, Zaera Futasari, 17 tahun, warga Dusun Jorong, Desa Sembalun Bumbung, Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Baca: Kesaksian Kakek Selamat dari Reruntuhan Masjid Saat Gempa
Pagi itu, Ahad (29/07/2018), semua penghuni rumah berhamburan keluar mencari pertolongan. Sedangkan Zaera dan bayinya masih terperangkap dalam kamar.
Orang-orang, tutur Zaera, keluar rumah mencari pertolongan. Semuanya khawatir dengan keselamatan bayinya.
“Namun kejadiannya begitu cepat, jadi saya sendiri yang harus menolongnya,” kisah ibu muda ini kepada INA News Agency, Ahad (12/08/2018).
Zaera baru saja melahirkan anaknya pada Sabtu, 28 Juli 2018. Perjuangan dan pengorbanan saat melahirkan terbayar lunas dengan haru bahagia saat sang anak lahir.
Namun kebahagiaan itu berubah seketika dalam satu hari. Zaera terpaksa kembali bertaruh nyawa untuk menyelamatkan bayinya dari guncangan gempa.
Baca: Baru Dua Hari Diresmikan, Masjid Ini Runtuh Diguncang Gempa
Saat gempa mengguncang, batu-batu bata keras yang hendak menimpa sang bayi berhasil ia gagalkan. Namun nahas, reruntuhan itu menghantam punggungnya dengan keras hingga berdarah.
Pada saat kejadian, Zaera tak ditemani sang suami yang tengah bekerja mengantar para pendaki di Gunung Rinjani. Beruntung, suaminya, Abdul Muis (25) selamat dari longsor di Rinjani.
Meski demikian, pengorbanan dan kecemasan belum berakhir. Malam hari usai kejadian, Zaera dan keluarganya harus bermalam beratapkan langit dan guyuran hujan.
Kecamatan Sembalun memiliki ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (MDPL). Suhu udara, terutama saat malam hari, terasa sangat dingin. Terlebih ketika hujan turun.
Hal itulah yang membuat Zaera dan keluarganya tetap menyalakan mata demi menjaga keselamatan sang bayi.
Semalaman ia tidak tidur dan rela terpapar udara dingin yang bercampur guyuran hujan. Hanya asma’ Allah yang ia dan keluarganya ucapkan sepanjang malam.
Akhirnya cahaya mentari menyemburat menembus langit Sembalun. Pada pagi itu juga, sang bayi diberikan nama “Muhammad Tandu”.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Nama “Tandu” menjadi penanda atas peristiwa yang terjadi. Bukan hanya sekadar untuk mengingat suasana darurat saat gempa. Lebih dari itu, Tandu adalah sosok yang akan mengingatkan kebesaran Allah yang telah mengajarkan banyak hikmah di balik bencana.
Sejak kejadian gempa pertama pada 29 Juli 2018, Tandu tinggal di dalam tenda, tempat yang tidak layak bagi seorang bayi. Namun Rahman-Nya Allah memancar ke dalam hati seorang ibu.
Selama di pengungsian, Tandu tak pernah lepas dari pelukan sang bunda. Ya, begitulah ibu, semua yang ia perjuangkan adalah tentang kebahagiaan anaknya.* Hilman/INA
Baca: Pengungsi Sembalun Sumbang 45 Ton Sayuran ke Korban Gempa Lombok