c. Pembinaan Etos Kerja Islami
Secara syar’i suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Untuk bisa mendatangkan nafkah yang cukup, diperlukan etos kerja tinggi dan diliputi semangat ubudiah. Suami hendaknya menekuni satu atau beberapa bidang usaha yang mendatangkan nilai ekonomi.
Ada kalanya, di kalangan keluarga Muslim justru istrilah yang bekerja mencari nafkah untuk keperluan seluruh anggota keluarga. Sementara itu, suami tidak jelas pekerjaannya, bahkan cenderung malas bekerja karena telah kecukupan dari hasil jerih payah istrinya. Jelas, kondisi semacam ini tidak dibenarkan menurut syariat.
Di zaman kita hidup sekarang ini, mencari pekerjaan yang mendatangkan cukup penghasilan tidaklah mudah. Peluang pekerjam yang tersedia tidak sebanding dengan sekian banyak sarjana yang tercetak. Oleh karena itu, etos kerja harus ditumbuhkan pada diri setiap suami dan calon suami agar mereka senantiasa terlibat dalam kerja-kerja yang mendatangkan cukup penghasilan, tidak tergantung pada jenis-jenis pekerjaan formal yang sesuai dengan keinginan.
d. Pembinaan Tanggung Jawab Keteladanan
Masalah keteladanan perlu ditanamkan sejak seorang laki-laki melangkah untuk menempuh hidup berkeluarga. Ia menjadi sorotan mata seluruh anggota rumah tangga. Gerak-geriknya adalah panutan dan catatan bagi istri, anak-anak, serta masyarakatnya. Suami wajib memberikan keteladanan yang baik dalam berbagai aspek kehidupan. Allah telah berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluarga kalian dari api neraka. (At-Tahrim: 6)
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Qatadah menafsirkan ayat di atas dengan ungkapan, “Hendaknya engkau perintah keluargamu agar taat kepada Allah dan melarang melakukan maksiat kepada-Nya. Berilah keteladanan dengan perintah Allah. Bantulah mereka untuk melaksanakan perintah-Nya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat maka selamatkanlah!”
Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam adalah sosok teladan paripurna yang memberikan contoh bagi siapa saja, termasuk terhadap istri dan anak-anaknya. Sikap santun Rasulullah terhadap para istri, anak-anak, menantu, cucu, dan seluruh masyarakatnya adalah bekal keteladanan yang layak ditiru oleh umatnya.
Suami yang berkewajiban mencari nafkah, di tempat kerjanya mungkin banyak berhubungan dengan wanita-wanita teman sekerja. Di antara lelaki Muslim masih ada yang teguh memegang prinsip pergaulan lawan jenis dengan menjaga batas-batasnya. Namun, ada pula yang merasa tidak perlu berpikir tentang hal itu lagi, lantaran sudah dianggap sebagai suatu kewajaran hidup.
Tak jarang pula kita dengar dalam satu instansi terjadi affair yang berbuntut kerusakan hubungan suami istri. Lantaran terbiasa dengan lingkungan yang ikhtilath (campur baur) antara lelaki dan wanita dalam satu ruangan kerja, mereka merasa biasa-biasa saja tatkala pembicaraan mengarah pada hal yang laghwi (sia-sia), bahkan dilarang. Mereka bersenda gurau, bercanda, tertawa bersama-sama, menggunjing, dan bahkan akhirnya berkencan, baik kencan makan bersama, hingga yang lebih jahat lagi.
Nilai rasa keteladanan bisa digerogoti oleh kebiasaan-kebiasaan kehidupan. Suami merasa biasa-biasa saja tatkala telah timbul kecenderungan hatinya kepada wanita lain yang sering dijumpai di lingkungan kerja. Ia bisa berpura-pura di hadapan istri dan anak anak. Akhirnya, jika tak segera dilakukan terapi, kehancuran keharmonisan rumah tangga telah di depan mata.
Sejak dini, Islam telah memberikan batasan-batasan pergaulan,
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.” (An-Nur: 30)
Suami harus memberikan keteladanan dalam berpakaian, berkata, dan bertingkah laku. Pakaian yang rapi, sopan, menutup aurat, akan lebih enak dilihat dan dicontoh. Bukan hanya di luar rumah atau waktu bekerja ia berpakaian rapi, di rumah pun suami harus memberikan keteladanan kerapian berpakaian. Anak-anak akan mencontoh bapaknya dalam berpakaian, berbicara, dan bertingkah laku. Oleh karenanya, rasa keteladanan harus senantiasa ditumbuhkan.
e. Pembinaan Keterampilan
Para suami perlu memerhatikan aspek ini, mengingat ia berkewajiban menghidupi istri, anak-anak, dan anggota keluarga yang lain. Sekalipun ia telah memiliki pekerjaan formal untuk menopang kehidupannya, tetapi baik juga jika ia mengasah beberapa keterampilan yang ia miliki dalam upaya mengajarkannya kepada anak-anak. Atau bahkan, sebagai tambahan penghasilan dan cadangan jika suatu waktu ia terpaksa keluar dari pekerjaan tetapnya karena ada masalah.
Saat ini telah banyak lembaga pendidikan yang menawarkan paket-paket pelatihan keterampilan. Usaha melatih keterampilan semacam ini pada saatnya nanti akan banyak manfaatnya, baik untuk diri sendiri, orang lain, maupun kepentingan gerakan dakwah Islam.*/Cahyadi Takariawan, dari bukunya Di Jalan Dakwah Kugapai Sakinah.