TAHAJUD malam itu, Ramadhan 1440H, Mei 2019, menjadi renungan saya seharian ini. Ada pelajaran berharga yang saya dapatkan dari sana. Tentang pentingnya menjaga hati. Atas tindakan yang kita anggap lebih baik dari tindakan orang lain.
Ceritanya begini.
Tumben-tumbennya, sejak ikut iktikaf –walau tidak full–, saya ketinggalan takbir pertama imam. Sejak awal, saya memang berazzam untuk bisa menikmati tahajud mulai takbir pertama sampai salam witir. Demi memburu pahala qiyamul lail semalam suntuk.
Tapi, tahajud malam ke-24 tadi tidak demikian. Setelah bangun, saya malah pindah tidur. Masih tetap di masjid. Dan kemudian terbangun, ketika imam bertakbir.
“Astaghfirullah!” Menyesal rasanya. Baru 4 hari lewat, azzam sudah rusak berat. Baru 4 malam dilalui, sudah ada yang tidak tertunai. Rasanya belum lama berjanji, tenyata berat untuk bisa istiqamah dan menjaga konsistensi.
Saya akhirnya masbuk. Ketinggalan rakaat pertama. Jadinya, tahajud akhir malam itu hanya menjadi ajang perenungan. Bacaan tartil imam tak lagi dinikmati. Saya hanya larut dalam pikiran dan rasa sesal. “Ya Allah, dosa apa yang telah saya perbuat?”
Baca: Iktikaf di Masjid Sunda Kelapa, Ramainya Kalahkan Shalat Jumat
Jelang subuh, ketemu jawabannya. Itu setelah ber-kontemplasi. Merenung dan evaluasi diri. Rupanya, saya telah ber-komentar atas tindakan seorang peserta iktikaf. Saya ingat, di malam sebelumnya, saya melihat ada jamaah yang masih tidur lelap, ketika tahajud sudah akan segera dilaksanakan.
Dan, itulah letak masalahnya. Entah juga mengapa, tidak ada yang membangunkan. Atau mungkin saja sudah dibangunkan, tapi masih belum puas tidur. Lalu akhirnya, komentar itu keluar.
“Ini orang, iktikaf atau pindah tidur, sih?” Begitu kira-kira komentar saya. Memang mencolok. Ketika semua orang sudah bersiap shalat, ia masih “khusyuk” dalam tidur. Dan belum bangunnya itu, lahirlah komentar tersebut.
Sebenarnya, komentar itu hanya dalam hati. Saya tidak mengeluarkannya melalui lisan. Itu hanya berupa lintasan dalam betik. Tapi, saya yakin ada secercak kesombongan di sana. Bersebab saya bisa bangun dan ikut tahajud bersama imam sejak takbir pertama. Sedang dia pasti tidak bisa.
Betikan dalam hati tersebut, rupanya dibayar kontan sama Allah. Teguran yang luar bisa dahsyat bagi saya. Dan itu betul yang ditegaskan dalam FirmanNya: wa jazzau sayyitin, sayyiatun mitsluha. Bahwa, balasan keburukan, adalah keburukan semisalnya.
Komentar jelek saya kepadanya atas tindakannya yang masih tidur ketika yang lain sudah tegak dalam tahajud, dibalas langsung oleh Allah. Persis. Sama. Dengan apa dilakukan peserta tersebut kemarin malam. Saya masih terlelap tidur, ketika imam bertakbir memulai shalat. Allahul musta’an.
Di sana ada pelajaran berharga yang saya temukan. Pertama, tidak merasa lebih baik ibadahnya dari orang lain. Ini penting. Agar kita tidak merasa sombong atas suatu ibadah yang kita lakukan. Agar kita tidak menganggap remeh orang yang belum bisa melakukan hal sama dengan kita.
Merasa lebih baik, hampir sama dengan merasa hebat. Hati-hati. Semuanya melahirkan kesombongan. Dijelaskan, kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.
Kedua, tetap sandarkan ibadah hanya kepada-Nya. Kita bisa, kuat dan mampu beribadah, semata karena peran Allah di sana. Allah-lah yang mudahkan kita untuk tergerak menegakkan ibadah. Jika bukan Dia, siapa lagi yang mampu melakukannya?
Bukankah kita sendiri mengakui kelemahan dan ketiadaan daya kita selain karenanya? Kita berzikir setiap hari dengan laa haula wa la quwwata illa billahi. Ini kan bentuk proklamir diri, bahwa kita ini tidak bisa apa-apa selain karena dia. Termasuk dalam melakukan ibadah.
Seharusnya, ketika mendapati orang yang ibadahnya tidak sebaik kita, kita berdoa kepada Allah agar tidak dijadikan seperti itu. Lalu bersyukur kepadanya, telah diberi kesempatan beribadah dengan sebaik-baiknya.
Bukankah itu memang doa kita di tiap akhir shalat? Allahumma a’inna ‘ala zikrika, wasyukrika, wa husni ibadatika.
Ketiga, seharusnya kita tidak perlu menilai ibadah oang lain. Jika tidak ada tujuan penting. Dan tidak ada kepentingan kita menilainya. Maka, tinggalkan hal itu.
Kita beribadah kepada Allah. Maka, biar Allah yang menilai ibadah kita. Bukankah setiap ibadah dilandasi niat? Dan niat, kita semua tahu, tempatnya ada di hati. Tentu Allah akan menilai setiap ibadah hamba, berdasar niat yang melandasinya.
Kecuali, jika kita ingin memberi nasihat, maka itu lebih baik. Agar ia memperbiki ibadahnya. Kualitas, juga kuantitas.
Keempat, jangan meremehkan. Ini sebenarnya umum. Dalam urusan apapun, kita dilarang meremehkan orang lain. Nabi shallallahu alayhi wasallam tegas melarang ini. Apalagi dalam urusan ibadah.* Dikisahkan oleh IB di Sulawesi Selatan