SEBAGAI anak, saya sungguh tidak tega ibu menginap di masjid dengan kondisi kesehatan seperti itu.
Sebagaimana saya juga tidak rela melihat ibu-ibu pembimbing yang sudah sepuh tapi begitu bersemangat ikut kegiatan di masjid.
Sepotong kisah di atas ditutur oleh Fathun Qarib, putra kelima Ustadz Abdullah Said Rahimahullah –pendiri Hidayatullah. Saat itu sedang digelar rapat koordinasi dan evaluasi Panitia Ramadhan di Meeting Room Kantor Yayasan, Balikpapan.
Suasana berubah hening. Tak ada suara terdengar, kecuali isak tertahan dari Fathun, Ketua Panitia Ramadhan terpilih, tahun ini. Kepada peserta musyawarah, ia menceritakan kegigihan ibu-ibu senior di pesantren untuk diizinkan iktikaf di masjid ar-Riyadh.
Sebenarnya saya sudah tawarkan beberapa fasilitas kepada mereka, para orang tua kita. Setidaknya selama kegiatan itikaf berlangsung di masjid.
Tapi apa jawab mereka? Lanjut Fathun dengan suara bergetar. Ia lalu menirukan jawaban itu.
“Kami tidak minta apa-apa dari panitia. Cukup izinkan kami, wanita-wanita lanjut usia ini bisa menikmati suasana sepuluh malam terakhir dan iktikaf di masjid. Itu saja.”
Menurut Fathun, meski berat, panitia akhirnya meloloskan permohonan itu. Sebab diyakini, ada maslahat lebih besar untuk kebaikan umat dan lembaga secara khusus.
“Saya yakin doa-doa mereka untuk kita juga, yang diharap melanjutkan perjuangan. Ini yang tidak boleh diabaikan generasi muda,” jelas Fathun kembali, Mei, Ramadhan 1440H/2019M.
Sampai di sini sebenarnya tak ada yang istimewa. Di beberapa masjid, khusus di bulan Ramadhan, memang ada kegiatan iktikaf.
Pesertanya pun variatif sebagaimana fasilitas satu tempat dengan lainnya juga berbeda. Ada laki-laki ada perempuan. Anak-anak, remaja, orangtua, hingga sudah sepuh pun juga ada.
Namun jujur, ada sepotong kalimat Ketua Panitia yang membuat saya bertegun. Saat menyebut iktikaf ibu pembimbing adalah maslahat bagi yang lain.
Sebodoh saya, ini aneh. Iktikaf kegiatan yang sangat privasi. Namanya juga iktikaf. Yaitu putus muamalat dengan makhluk sementara waktu. Adanya, menjalin ibadah seintim dan semesra mungkin dengan Alah.
Tapi kenapa bisa disebut berguna bagi orang lain? Itulah faidah berjamaah. Ada kolaborasi, sinergi, dan ta’awun. Lubang yang ada bisa ditambal bersama atau dibantu oleh yang lain.
Semasa santri, dulu ada istilah tim tawajjuh Ramadhan. Selaku santri tak paham artinya. Tapi maksudnya, tawajjuh itu orang-orang disuruh berdiam di masjid. Di sana mereka banyak berzikir dan baca Qur’an.
Terpenting lagi, diminta mendoakan kawan-kawannya sesama santri yang bertugas menghimpun dana di tengah masyarakat.
Akhir kata, hari ini terpetik pelajaran berharga dari para orangtua kader senior Hidayatullah. Bukan cuma soal kesabaran dan kiprah dakwah yang gagah berani mengawali pesantren di semua tempat.
Tapi juga soal keikhlasan mereka menyambut lahirnya generasi muda pelanjut tongkat estafeta. Mereka bukan cuma mendukung saja. Bahkan mendoakan sepenuh hati untuk kebaikan generasi muda.
So. Tinggal kalian wahai pemuda. Masihkah ingin bersantai-santai? Sampai kapan kalian tenggelam dalam leha-leha dan leyeh-leyeh? Dengan smartphone di tangan dan earphone yang setiap saat menempel di telinga.
Ketahuilah, itu bukan sikap pemuda sejati. Pemuda itu energik! Semangat! Berkobar! Berkibar! Membara!* Kiriman Masykur, dosen di Balikpapan