Hidayatullah.com | SEBELUM penulis membahas tulisan “Jum’at Sebagai Hari Libur” dan “Problem Ahad Menjadi Minggu”, akan diawali dengan cerita menarik suatu kegiatan yang secara konsisten oleh Jama’ah Pengajian Surabaya asuhan KH. Sattar Madjid Iljas yang sejak tahun 2005-an, mensosialisasikan hari Jum’at sebagai hari libur bahkan hari raya pekanan umat Islam.
Secara konsisten jama’ah ini dengan sukarela meliburkan diri di hari Jum’at untuk mensosialisasikan Jum’at sebagai hari libur umat Islam dalam bingkai silaturahim yang diadakan tiap Jum’at. “Kelak,” kata Yai Sattar suatu ketika dalam sebuah forum pengajian yang diasuhnya, “ini akan menjadi peninggalan JPS.”
Mengenai hal ini, memang dulu penulis saat sekolah di Madrasah Ibtida’iyah pada tahun 1994, masih merasakan adanya libur Jum’at bagi sekolah-sekolah yang berasaskan Islam. Bahkan, penyebutan kata Ahad menjadi biasa dan mudah dipahami. Lalu kemudian beberapa tahun kemudian, serentak libur diganti hari Ahad, dan yang lebih terkenal justru nama Minggu sebagai pengganti Ahad.
Penulis yang merasakan langsung hal ini sempat bertanya-tanya: Pertama, mengapa hari Jum’at yang dulunya sebagai liburan pekanan sekolah Islam kemudian diubah menjadi hari Ahad. Kedua, mengapa hari Ahad tiba-tiba hilang, dan bergangi menjadi hari Minggu. Padahal, kalau konsisten dengan asal nama hari-hari kita (yang dari bahasa Arab; Senin (dari Isnain), Selasa (dari As Tsulasa), Rabu (dari al Arbi’ah), Kamis (dari Al Khomis), Jumat (dari Al Jumu’ah), Sabtu (dari As-Sabtu), maka seharusnya hari selanjutnya adalah Ahad, bukan Minggu.
Seteleh memperhatikan kegiatan yang digagas Yai Sattar Madjid, penulis semakin menyadari bahwa permasalahan ini bukan sekadar masalah biasa. Ini sudah menyangkut problem keagamaan.
Dalam khazanah hadits, dijelaskan bahwa hari libur orang Yahudi adalah Sabtu, sedangkan umat Kristen adalah Ahad, sedangkan umat Islam adalah hari Jum’at. Nah, Jama’ah Pengajian Surabaya berupaya sedemikian rupa melalui sektor kebudayaan melalui acara silaturahmi agar hari Jum’at kembali ditetapkan menjadi hari libur umat Islam, khususnya dalam konteks Indonesia.
Penulis pernah membaca dalam kitab Mushannaf Abdur Razaq dan disebutkan pula dalam kitab “Fath al-Baary” karya Ibnu Rajab bahwa sebelum ada kewajiban Jum’at serta kedatangan Nabi ke Madinah, para sahabat kalangan Anshar sudah menjadikan hari ‘Urubah atau Jum’at sebagai hari tempat berkumpul untuk beribadah dan bersyukur. Demikian riwayat lengkapnya.
جَمَّعَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ قَبْلَ أَنْ يُقْدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَبْلَ أَنْ تَنْزِلَ الْجُمُعَةُ وَهُمُ الَّذِينَ سَمَّوْهَا الْجُمُعَةَ، فَقَالَتِ الْأَنْصَارُ لِلْيَهُودِ: يَوْمٌ يَجْتَمِعُونَ فِيهِ كُلَّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ، وَلِلنَّصَارَى أَيْضًا مِثْلُ ذَلِكَ، فَهَلُمَّ فَلْنَجْعَلْ يَوْمًا نَجْتَمِعُ وَنَذْكُرُ اللَّهَ وَنُصَلِّي وَنَشْكُرُهُ فِيهِ، أَوْ كَمَا قَالُوا: فَقَالُوا: يَوْمُ السَّبِتِ لِلْيَهُودِ، وَيَوْمُ الْأَحَدِ لِلنَّصَارَى، فَاجْعَلُوهُ يَوْمَ الْعُرُوبَةِ، وَكَانُوا يُسَمُّونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَوْمَ الْعُرُوبَةِ، فَاجْتَمَعُوا إِلَى أَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ فَصَلَّى بِهِمْ، يَوْمَئِذٍ وَذَكَّرَهُمْ فَسَمَّوْهُ الْجُمُعَةَ، حَتَّى اجْتَمَعُوا إِلَيْهِ، فَذبَحَ أَسْعَدُ بْنُ زُرَارَةَ لَهمُ شَاةً فَتَغَدَّوْا وَتَعَشَّوْا مِنْ شَاةٍ وَاحِدَةٍ، وَذَلِكَ لِقِلَّتِهِمْ “، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي ذَلِكَ بَعْدَ ذَلِكَ: {إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ} [الجمعة: 9]
“Sebelum datangnya Rasulullah ﷺ (ke Madinah) dan sebelum turunnya kewajiban Jum’at para penduduk Madinah (yang muslim) berkumpul, merekalah yang menamakan hari itu sebagai Jum’at. Lalu orang Anshar berkata kepada Yahudi: setiap satu hari dalam tujuh hari, mereka berkumpul demikian juga Nashrani memiliki hari untuk berkumpul. Maka dari itu, mari kita membuat satu hari untuk berkumpul bersama untuk berzikir kepada Allah, shalat dan bersyukur pada hari itu. Atau sebagaimana yang mereka katakan, ‘Hari Sabtu itu milik Yahudi, sedangkan Ahad milik Nashrani, maka jadikanlah hari ‘Urubah (untuk momen berkumpul kita). Mereka menamakan haru Jum’at dengan hari ‘Urubah, lalu mereka berkumpul ke As’ad bin Zurarah lalu ia shalat bersama mereka, lalu memberikan peringatan kepada mereka dan menamakan hari itu sebagai Jum’at supaya mereka bisa berkumpul pada hari itu. Lalu ‘As’ad bin Zurarah menyembelih kambing untuk mereka, kemudian mereka makan bersama dari kambing itu, karena waktu itu jumlahnya masih sedikir. Lalu, Allah menurunkan setelah itu ayat: “apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS: Al-Jumu’ah [62]: 9).”
Riwayat ini menunjukkan bahwa sejak di Madinah dulu, umat Islam sudah mengerti bahwa hari libur atau suci Yahudi adalah Sabtu dan Nashrani adalah Ahad.
Agar bisa menjadi pembeda dengan mereka, umat Islam menjadikan Jum’at sebagai hari tempat berkumpul, beribadah dan bersyukur kepada Allah. Di kemudian hari, memang diterangkan oleh Nabi bahwa Jum’at adalah hari raya pekanan umat Islam, dan di dalamnya secara khusus ada ibadah yang disebut shalat Jum’at.
Kembali ke permasalahan libur Jum’at, Prof. Dr. Ir. M. Muslich Mustadjab –tokoh Jama’ah Pengajian Surabaya dan Dosen Unibraw Malang– pernah berkata, “Kalau umat Islam diberi libur dihari Jum’at tidak berarti hari Sabtu dan Minggu juga libur! Libur hanya pada hari Jum’at saja, hari Sabtu dan Minggu masuk, biar umat Nasrani libur Minggu, Yahudi di hari Sabtu, sesuai dengan hadist Sabtu hari raya umat Yahudi, Minggu Nasrani dan Jum’at Hari Raya kita orang Islam, gimana ini namanya adil kan?”
Kemudian, mengapa Ahad bisa menjadi Minggu? Terkait hal ini, penulis pernah membaca dalam buku “Islam Faktual: Ajaran, Pemikira, Pendidikan, Politik dan Terorisme” (2019) karya Dr. H. A. Zaki Mubarak. Pada halaman 173, disebutkan fakta menarik berikut.
Setelah orang Yahudi berhasil menjadikan hari Sabtu sebagai hari suci mereka. Kemudian Nashrani menginginkan hari Ahad sebagai hari agama mereka. Lebih dari itu, mereka juga meminta mengganti hari Ahad dengan nama Minggo.
Minggo diambil dari kata “do minggo“. Do artinya hari. Sedangkan minggo artinya “tuhan”. Jadi, do minggo yang sekarang menjadi Minggu adalah “hari tuhan” hasil dari mengganti Ahad.
Dalam buku ini bahkan disebutkan bahwa kaum Nasrani dengan membonceng penjajah juga memaksa untuk hari libur di hari Minggu. Umat Islam awalnya menolak ketika itu, namun karena kekuata yang memaksa dari kolonial, maka hari Minggu menjadi hari libur menggantikan Jum’at, padahal sebelumnya mereka libur hanya hari Jum’at.
Dari pembahasan singkat ini, apa yang diperjuangakan oleh Jama’ah Pengajian Surabaya mengenai sosialisasi Jum’at sebagai hari raya dan libur umat Islam itu pijakannya sangat jelas dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dan kalau dilihat dari sejarahnya, dari dulu orang Yahudi dan Nashrani berusaha sedemikian rupa untuk memperjuangkan hari sucinya sendiri. Bahkan, ada upaya untuk mengganti hari Ahad menjadi Minggu dan ini ternyata tidak lepas dari masalah ideologi.
Oleh karena itu, upaya umat Islam untuk menjadikan hari Jum’at sebagai hari libur perlu diapresiasi dan didukung. Di samping itu, kita tidak perlu latah mengganti hari Ahad menjadi Minggu, karena kalau dilihat sejarahnya, itu tak lepas dari permasalahan ideologis yang dipaksakan oleh kepentingan tertentu.*/Mahmud Budi Setiawan