Hidayatullah.com– Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD turut menjadi pembicara pada diskusi panel pertama di acara Simposium PPI Timur Tengah dan Afrika di Madinah, Arab Saudi.
Diskusi berlangsung setelah acara pembukaan simposium bertema “Revitalisasi Simpul Kebangsaan di Tengah Kemajemukan” yang digelar pada Senin-Selasa (03-04/04/2017) itu.
Mahfud MD antara lain berbicara tentang cara merajut tenun kebangsaan dan bagaimana cara mengelola kebersamaan.
Baca: Di Madinah, Ridwan Kamil Ingatkan Mahasiswa Indonesia Bertoleransi atas Perbedaan
Ia kemudian menyatakan optimistis bahwa Indonesia tidak sedang dalam kondisi yang kritis. Indonesia sekarang telah tumbuh menjadi lebih baik bila dibanding dulu. Baik secara ekonomi, politik maupun sosial.
Pembicara selanjutnya adalah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin. Ia menyambung apa yang telah disampaikan oleh pembicara-pembicara sebelumnya, di antaranya Mahfud MD.
Din juga tidak sepakat bila Indonesia disebut kritis; disintegrasi dan intoleransi. Bahkan Indonesia secara umum sangatlah bagus. Ia juga tak mempercayai statistik dan survei yang menunjukkan hal sebaliknya.
Baca: Hangatnya Pertemuan Internasional Pelajar Indonesia Timur Tengah dan Afrika 2017
Bahkan, lanjutnya, integrasi dan toleransi tersebut sangat didukung oleh faktor Islam. Ketika Islam tidak bersanding dengan kesukuan dan perkotakan lainnya.
“Orang-orang yang ekskulif hanya akan gagal, oleh karenanya kita menawarkan inklusifme,” kata Din.
“Kita membutuhkan dialog dan ngobrol, bukan dialektika yang intinya adalah pokoknya. Namun negara haruslah hadir sebagai penengah dan pemutus,” kata Din.
“Umat Islam Indonesia haruslah mengedepankan praksisme keagamaan bukan justru populisme keagamaan,” tambahnya.
Baca: Pimpinan MPR: Dari Dulu Umat Islam Selalu Berkorban Demi Keutuhan NKRI
Lanjutnya, para tokoh Islam dalam sejarah rela melepaskan tujuh kata yang dipersoalkan dalam Piagam Jakarta agar menjadi seperti Pancasila yang dikenal hingga saat ini. Terlebih lagi ajaran hikmah dan rahmat yang diajarkan dalam Islam, juga telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
“Pancasila adalah dasar negara yang telah final,” kata dia.
Ke depannya Indonesia akan tetap menghadapi masalah, lanjutnya. Terlebih setelah berakhirnya Perang Dingin, dimana banyak kepentingan yang saling tarik menarik. Di situlah dibutuhkan kekuatan negara yang bisa menyatukan segala pandangan dengan baik.* Kiriman Muhammad Izzi, Madinah