Hidayatullah.com—Grand Syeikh (Imam Besar) Al Azhar, Syeikh Ahmed al-Tayyib telah mencopot Kepala Universitas al-Azhar Mesir, Ahmed Hosni Taha.
Spekulasi media menyebutkan, Ahmed Hosni Taha, hari Kamis dipaksa meminta maaf setelah mengatakan penulis al-Behairy telah “murtad” karena menyerang beberapa ulama hukum Islam.
Pernyataan Taha mengenai tokoh kontroversial Mesir al Behairy dilakukannya dalam sebuah wawancara televisi.
“Respon saya…tidaklah benar dan hal itu berlawanan dengan cara al-Azhar,” kata Taha dalam permintaan maafnya di situs universitas al-Azhar dikutip Middle East Eye (MEE), belum lama ini.
Behairy merupakan seorang pembawa acara talkshow yang pernah mengecam keulamaan tradisional al-Azhar dengan menyerang buku-buku agama dan beberapa ulama penting Sunni.
Secara berturut-turut dia telah menjadi pusat perhatian al-Azhar dan presiden Mesir, Abdul Fattah al-Sisi, yang mendorong reformasi tetapi banyak institusi tidak menginginkan hal tersebut.
Behairy pada tahun lalu dijatuhi hukum satu tahun penjara karena “menghina agama”, tetapi segera bebas karena menerima pengampunan presiden dan sejak itu berjanji untuk terus berbicara melawan “pemikiran radikal”.
“Revolusi agama” pertama kalinya diserukan oleh Al Sisi dua tahun yang lalu pada pidato Tahun Baru di al-Azhar di mana dia mengatakan “pemikiran yang telah teradikalisasi menyebarkan kebencian ke seluruh dunia dan memecah umat.”
Baca: Mesir Tolak Permintaan Pemecatan Grand Syaikh Al-Azhar
Sebuah komite yang beranggotakan para ahli pendidikan, didirikan pada 2015 atas perintah Sisi, untuk mengkaji ulang dan memperbarui kurikulum pendidikan al-Azhar, untuk menyaring konten-konten yang dapat menimbulkan kekerasan.
Seruan tersebut kembali keluar setelah tiga kelompok ISIS melakukan bom bunuh diri di tiga gereja yang menyebabkan tewasnya lusinan warga Kristen Koptik pada Desember dan April.
Al Sisi mengatakan sebuah komite akan dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut setelah pengeboman ganda pada gereja di Palm Sunday yang menewaskan sekitar 45 penganut kristen koptik.
Tetapi al-Azhar secara luas menolak permintaan al Sisi untuk membantu “moderanisasi keyakinan”, termasuk upaya pemerintah melalui kementrian agama yang baru-baru untuk menyamakan semua isi khutbah Jumat di seluruh negeri Mesir.Syeikh Tayyib dilaporkan menginstruksikan para bawahannya untuk meningkatkan pertahanan mereka pada institusi agama dan kebebasannya.
Al-Azhar pada Februari juga pernah menolak mendukung seruan Al Sisi untuk mengubah prosedur perceraian dan melarang perceraian “verbal”.
Al-Azhar pernah mendapat kecaman keras dari media setempat, yang menuduh Syeikkh Tayyib dan Dewan Tinggi Ulama (SCC) nya memiliki hubungan dengan Ikhwanul Muslimin, meskipun institusi tersebut mendukung militer saat kudeta Mohamad Mursi pada Juni 2013.
Politik dan agama
Nathan Brown, anggota peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan terdapat konflik politik antara pemerintah dan para pemuka agama Mesir.
Dia mengatakan bahwa upaya pemerintah untuk memilihkan pimpinan al-Azhar terhalang oleh sebuah undang-undang yang dirubah pada tahun 2012.
“Perubahan yang dilakukan dalam struktur kepemimpinan al-Azhar oleh Dewan Tinggi Angkatan Bersenjata didesain untuk menjaga al-Azhar bebas dari Ikhwanul Muslimin, tetapi hal itu terlepas dari siapa presidennya,” kata Brown.
“Tayyib berada di posisi yang jauh lebih independen daripada pendahulunya. Sisi mengetahui hal ini seperti dulu Mursi mengetahui hal tersebut,” lanjut Brown.
Baca: Majelis Shahih Al Bukhari Ulama Al Azhar Saat Perang Dunia ke Dua
Mengomentari amandemen yang terjadi, dalam sebuah wawancara dengan media Mesir pada tahun 2014, Syeikh Tayyib mengatakan: “Kami memastikan al-Azhar tetaplah sebuah institusi yang independen, dan ulama-ulamanya merupakan sosok yang independen.”
Menurut Mohamed Medhat Mandour, seorang peneliti di departemen hukum dan masyarakat Universitas Amerika di Kairo, al-Azhar ingin menyampaikan sebuah pesan pada kepresidenan.
“Bahwa institusi tidak dapat mengontrol hal-hal terkait agama sementara institusi itu terlalu terikat dengan pemerintah, dan pemerintah itu seharusnya memberi al-Azhar ruang yang cukup untuk bergerak secara bebas,” dia mengatakan pada Mada Masr.
Upaya-upaya yang diinisiasi oleh Anggota Dewan Mohamed Abu Hamed, yang juga menyeru dilakukannya reformasi pada ajaran al-Azhar, mungkin merubah jalannya permainan.
Abu Hamed telah mempersiapkan amandemen-amandemen terhadap UUD 2012 yang akan membawa al-Azhar kembali di bawah kontrol negara dan memberi wewenang presiden untuk memilih Grand Syaikh al-Azhar dan Dewan Tinggi Ulama (SCC).*/Nashirul Haq AR