Oleh: Prof. Dr. Mohsen Mohammad Saleh
Hidayatullah.com | SUATU ketika, seorang profesor Arab dengan dengan malu-malu bertanya pada saya pertanyaan ini: “Apakah orang-orang Palestina menjual tanah mereka, dan menyerahkannya kepada orang-orang Yahudi?”
Dia tidak akan bertanya pertanyaan semacam ini jika kami tidak memiliki ikatan yang kuat, dan dia tahu saya tidak akan merasa dipermalukan oleh pertanyaan tersebut. Sebenarnya, Saya tidak malu; namun yang mengejutkan saya adalah bahwa dia merupakan seorang profesor sejarah modern, dan termasuk mereka yang menyiapkan kurikulum sejarah di negara Arabnya, termasuk topik-topik tentang Palestina!
Setelah itu, Saya memahami bahwa banyak yang ingin mengajukan pertanyaan ini, namun mereka malu melakukannya. Saya tahu saat itu, betapa banyak orang Palestina – spesialis dalam studi Palestina – telah gagal untuk menjelaskan masalah ini dengan benar dan obyektif, tidak hanya kepada dunia, bahkan kepada rakyat mereka sendiri.
Propaganda Zionis berfokus pada narasi bahwa orang Palestina adalah orang-orang yang menjual tanah mereka kepada orang Yahudi, dan bahwa orang-orang Yahudi membeli itu dengan uang mereka, adil dan jujur. Karenanya, orang Palestina tidak boleh mengklaimnya kembali! Mungkin di sini kami bisa memberikan ide singkat mengenai topik ini.
Palestina: Orang-orang yang Berakar kuat di Tanah Mereka:
Sejak awal dan sejak abad kesembilan belas, propaganda Zionis didasarkan pada gagasan “tanah tanpa rakyat untuk rakyat tanpa tanah,” mengingat bahwa tidak ada penduduk di Palestina, dan bahwa orang Yahudi yang tidak memiliki berhak untuk mengklaim tanah ini.
Namun, sejak tanda-tanda awal pemukiman, mereka menemukan bahwa di sana penuh dengan vitalitas dan aktivitas, di mana penduduk pekerja keras hidup, berakar dalam di tanah mereka.
Berdasarkan sebuah anekdot yang seringkali diulang, setelah Kongres Basel, diselenggarakan tahun 1897, para rabi Vienna memutuskan untuk mengeksplorasi ide-ide Theodor Herzl, dan mengirim dua perwakilan ke Palestina.
Misi pencari fakta ini menghasilkan pesan telegraf yang ditulis kedua rabi itu, “Pengantin perempuan itu cantik, namun dia telah menikahi pria lain”! Artinya, sudah ada penduduk yang tinggal di sana. Kisahnya menyerupai anekdot lain, melibatkan Theodor Herzl dan tangan kanannya Max Nordau. Ketika Nordau pertama kali mengetahui bahwa ada populasi Arab yang cukup besar di Palestina, dia berlari ke Herzl, sambil menangis, “Saya tidak tahu itu. Tapi kemudian kita melakukan ketidakadilan.”
Sebuah Perlawanan Awal:
Sejak awal dari proyek ini, perlawanan aktif Palestina terhadap pemukiman Zionis Yahudi dimulai, yaitu, semenjak tahap awal, pada masa Kekhalifahan Utsmaniyyah (Ottoman). Tahun 1886, bentrokan terjadi antara para petani Palestina dan pemukim ilegal Yahudi, dan pada Mei 1890, ketika Kantor Administratif (Mutassarrif) Yerusalem, Rashad Pasha, menunjukkan keberpihakannya kepada pemukim Zionis Yahudi, sebuah delegasi pejabat tinggi Yerusalem menyuarakan keberatan terhadap sikapnya. Kemudian, pada 24 Juni 1891, pejabat-pejabat tinggi Yerusalem mengajukan petisi kepada Wazir Agung Utsmaniyyah (Perdana Menteri) menuntut penghentian migrasi orang-orang Yahudi Rusia ke Palestina dan melarang mereka untuk membeli tanah.
Para cendekiawan Palestina dan perwakilannya untuk otoritas Utsmaniyyah, serta surat kabar Palestina, memperingatkan bahaya pemukiman Zionis Yahudi dan menuntut langkah-langkah tegas untuk menghadapinya.
Pada tahun 1897, Syeikh Muhammad Tahir al-Hussain, Mufti Besar Yerusalem, memimpin sebuah lembaga lokal dengan kekuatan pemerintah untuk mengaudit permintaan transfer properti di kantor Mutasarrifat Yerusalem, sehingga mencegah banyak tanah berpindah tangan ke Zionis Yahudi. Syeikh Suleiman al-Taji al-Faruqi, yang ikut serta dalam mendirikan Partai Nasional Ottoman pada 1911, memainkan peran penting dalam memperingatkan bahaya Zionis, dan begitu pula Yusuf al-Khalidi, Sa’id al-Hussaini, dan Najib Nassar.
Meskipun Sultan Abdul Hamid dan pemerintah pusat mengeluarkan instruksi untuk menentang imigrasi dan pemukiman Yahudi, korupsi para pejabat administrasi Utsmaniyyah menghambat implementasi instruksi tersebut, akibatnya, para Zionis – dengan membayar suap – dapat membeli banyak tanah.
Selain itu, kendali Partai Persatuan dan Kemajuan atas Kekhalifahan Utsmaniyyah, penggulingan Sultan ‘Abdul Hamid oleh mereka pada tahun 1909, dan pengaruh besar Zionis Yahudi di dalamnya, telah memfasilitasi akuisisi tanah dan emigrasi Yahudi-Yahudi Zionis ke Palestina.
Pada akhir Kekhalifahan Utsmaniyyah pada tahun 1918, orang-orang Yahudi telah memperoleh sekitar 420 ribu dunam (atau 1,5%) dari tanah Palestina, yang mereka beli terutama dari tuan tanah feodal Lebanon, terutama keluarga Sursock, Tayyan, Tueni dan Medawar, atau dari pemerintahan Ottoman melalui pelelangan publik di mana tanah para petani Palestina yang tidak mampu membayar pajak mereka dijual, atau dari beberapa tuan tanah Palestina yang termasuk keluarga feodal seperti keluarga Ruk dan Kassar. Pembelian ini mencakup 93% dari tanah yang diperoleh orang Yahudi.
Bagaimanapun, ancaman Zionis tidak dianggap serius oleh orang-orang Palestina pada waktu itu, karena ukuran kecil dari pemukiman dan populasi Yahudi, dan bahwa pembentukan entitas Zionis di bawah negara Muslim (Kekhalifahan Utsmaniyyah) hampir tidak mungkin terjadi.* (BERSAMBUNG). /Artikel ini dimuat di Palinfo.com