Hidayatullah.com–Seorang intelektual seharusnya tidak melupakan panduan keilmuwan tertinggi, Al Qur’an. Dengan tetap berpijak pada kitab Allah itu, seorang ilmuwan menjadikan profesinya sebagai syiar.
Hal itu diyakini oleh Dewi Ratna Diana Amelia (22), mahasiswi Universitas Indonesia jurusan Manajemen Keuangan.
“Sesibuk apa sih kita sehingga tidak bisa membaca Al Qur’an setiap hari? Sesibuk apa sih kita sehingga tidak bisa menghapal Qur’an setiap hari? Asalkan kita mau meluangkan waktu, semua bisa tetap kita jalani,” tuturnya saat menjadi pembicara talkshow yang diadakan Qur’anic Generation (Q-Gen): “Ngaku Gaul? Follback to Qur’an”, di Masjid Raya Pondok Indah, Jakarta,belum lama ini.
Umat Islam tidak boleh punya inferioritas, kata muslimah yang aktif di Indonesia Quran Foundation (IQF) itu. Apalagi jika sampai beranggapan bangsa Yahudi lebih pintar. Menurutnya itu salah besar, sebab melalui Surat Al Imran, 110, Allah menyatakan umat Islam, umat terbaik.
Mahasiswa Berprestasi II Manajemen FE UI itu bercita-cita menjadikan profesinya sebagai syiar. Jalan ini sudah mulai dirintisnya saat menghadiri berbagai konferensi internasional di Australia dan Inggris.
Saat itu ia harus menjelaskan pada petugas di sebuah museum di Inggris mengapa Ia bersama beberapa teman muslimah lainnya mengambil sebuah pojokan dibawah tangga untuk shalat.
“Bayangkan betapa sulitnya menjelaskan pada mereka mengapa kami, Muslimah harus shalat dan menutupi aurat kami,” jelas Penyaji Makalah dalam Indonesian Students International Conference University of Quuensland Brisabane.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan yang menyudutkan syariah Islam, Dewi menyarankan agar muslimah membekali diri dengan pemahaman Islam yang baik. Bersikap taktis dan pandai berdiplomasi, bisa mematahkan stigma negatif tentang Islam.
Hal itu seperti jawaban seorang kakak kelasnya ketika ada orang Inggris yang mempertanyakan mengapa seorang Muslimah harus berjilbab dan tidak boleh bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram.
“Apakah Anda boleh begitu saja menyalami Ratu Elizabeth? Tentu tidak bukan? Begitu juga dengan kami para Muslimah yang tidak bisa begitu saja disentuh oleh sembarang orang. Islam memperlakukan kami seperti ratu, spesial,” tutur Dewi menirukan argumentasi seniornya.
“Saya percaya jadi seorang Ibu, seorang Muslimah harus pintar dan cerdas karena kita akan mendidik anak-anak kita. Sama seperti isti Nabi Siti Aisyah yang bisa mengobati luka Rasulullah ketika masa perang,” ungkap wanita asal Sumenep, Madura, itu.*