Hidayatullah.com–Malam terakhir sebelum deklarasi alih fungsi kawasan prostitusi Dolly-Jarak, Selasa (17/06/2014), hidayatullah.com terlambat hadir pada jumpa pers yang digelar tepat pada waktu maghrib oleh Front Pekerja Lokalisasi (FPL).
Meski FPL mengimbau para pemilik wisma maksiat untuk beroperasi secara normal, malam itu kawasan Dolly dan Jarak tampak lengang.
Etalase-etalase wisma yang biasanya menampilkan para pelacur tampak kosong.
Ketika hidayatullah.com akan mengambil gambar, seorang anggota tiba-tiba melarang. Tapi larangan ini bukan hanya pada hidayatullah.com saja, sejumlah wartawan lain yang terlambat jumpa pers juga ditegur, kemudian dikumpulkan ke posko FPL.
Ketua FPL, Saputra alias Pokemon, mengatakan khusus malam itu wartawan dilarang mengambil gambar.
“Kalau disuting dan diwawancara terus, bagaimana mereka (WTS) bekerja. Mereka butuh makan,” kata Pokemon.
Tak lama usai berbincang dengan Pokemon, seorang anggota FPL masuk ke posko mengingatkan teman-temannya untuk berjaga malam.
“Yang merasa tugas malam, ayo jaga,” kata pria kurus berambut panjang itu.
Kemudian pria tadi keluar dengan memikul sekardus air mineral seraya berteriak, “Allahu akbar.” Tapi tidak ada satupun yang menyahuti takbirnya itu.
Kata Pokemon, besok malam –di malam deklarasi penutupan Dolly dan Jarak- boleh ambil gambar.
Tanda Kematian
Usai meliput deklarasi alih fungsi kawasan prostitusi Dolly dan Jarak, Rabu (18/06/2014), hidayatullah.com menyempatkan kembali singgah ke kawasan Dolly dan Jarak.
FPL masih melakukan blokade jalan-jalan menuju Dolly dan Jarak. Tetapi warga setempat dan wartawan tetap boleh masuk.
Namun malam itu Dolly dan Jarak benar-benar gelap. Tidak ada satupun wisma yang buka. Semua lampu di Gang Dolly dipadamkan. Sementara lampu-lampu jalan di Jalan Jarak tetap menyala, namun wisma-wisma prostitusi tutup semua.
Sejumlah warga yang ditemui menjawab sekedarnya. “Enggak tahu mas. Sebagian wisma sudah ada yang disegel,” ujar seorang pria bertopi yang hidayatullah.com temui di mulut Gang Dolly.
Meskipun gelap, warga Dolly dan Jarak tetap beraga-jaga dari ancaman masuknya aparat ataupun ormas-ormas pro penutupan.
Seorang wanita berkaus hitam merokok mengeluhkan keadaan tersebut.
“Bu Risma, (Walikota Surabaya Tri Rismaharini) nanti sekolah anak saya bagaimana?” katanya.
Kalangan anti-penutupan Dolly-Jarak sudah melakukan hampir segala cara untuk membendung kebijakan Pemkot Surabaya.
Mulai dari menggelar demonstrasi para pelacur dan mucikari, menulis surat ke parlemen dan pemerintah, audiensi Komnas HAM, hingga memasang bendera-bendera setengah tiang di depan wisma.
Seorang ustad yang tinggal di Dolly, Ngadimin Wahab mengomentari pemasangan bendera-bendera setengah tiang di gang pelacuran yang konon dirintis seorang wanita Belanda dengan sebutan Tante Dolly itu.
“Bendera setengah tiang itu kan untuk pahlawan yang sudah mati. Kalau begitu, itu bisa jadi memang tanda-tanda (kompleks pelacuran Dolly-Jarak) akan mati,” katanya.*