Sambungan artikel KEDUA
Oleh: Muhammad Cheng Ho
Februari 1935, mereka diangkut ke Boven Digul. Bung Hatta dibuang karena aktif menulis dalam majalah yang diterbitkan partainya, Daulat Ra’jat. Mereka kini hidup selama satu tahun di tengah hutan ganas, sungai penuh buaya, lingkungan berpenyakit malaria di Nieuw Guinea yang sekarang namanya Papua.
Tapi dasar Bung Hatta, ia tak bisa lepas dari buku. Dibawanya 16 peti buku ke sana. Buku-buku itu menjadi amunisinya untuk meluncurkan tulisan ke koran-koran di Batavia maupun Den Haag. Di sana ia membaca tiap sore, menulis ke surat kabar Adil, Pandji Islam, Pedoman Masjarakat, dan Pemandangan, menulis tentang filsafat Yunani Antik, dan mengajar ilmu ekonomi dan filsafat dua kali sepekan.
Di sana Bung Hatta tak mau jadi babu berdasinya penjajah asing. Meski ditawari kerja sama dalam proyek seperti menggali parit, membantu pekerjaan di rumah sakit, kantor telegraf, kantor sentral listrik atau menjadi pegawai dermaga, namun ia menolak dengan keras semua tawaran penjajah itu.
Untunglah Bung Hatta dan Sjahrir cepat dipindahkan ke Banda Neira, Maluku pada tahun 1936. Di sana lingkungannya berbeda dengan Digul, alamnya sungguh mempesona. Mereka serasa kembali pada peradaban, kembali hidup normal. Meski begitu, mereka tak lantas berleha-leha. Mereka mengajar pemuda-pemuda setempat dan di luar Banda Neira. Bung Hatta juga memberikan bimbingan kursus tertulis ekonomi bagi para simpatisannya, menulis untuk surat kabar Pemandangan dan Batavia, dan menulis kembali kuliah-kuliah filsafat Yunani yang pernah ia berikan di Boven Digul sampai terbit sebagai buku yang kelak menjadi maskawin untuk Rahmi, istrinya.
Pagi, 1 Februari 1942, pesawat terbang amfibi melayang di atas di Pulau Banda Neira dan mendarat di Gunung Api. Hatta dan Sjahrir diangkut ke Jawa. Ada satu pesan mendalam yang ditinggalkan Bung Hatta sebelum meninggalkan Banda Neira,“Suatu bantuan pembangunan harus bebas dari syarat politik apapun juga, bebas dari campur tangan asing dalam soal-soal dalam negeri bangsa yang menerima bantuan.” (Tim Penyunting Tempo, 2010, Hatta Jejak yang Melampaui Zaman)
3 Februari 1942, mereka tiba di Sukabumi dengan kereta api dari Surabaya, dan ditempatkan di rumah dalam kompleks Sekolah Polisi. Akhirnya mereka kembali ke Jawa, setelah diasingkan tujuh tahun. Tiga tahun kemudian, tepatnya 17 Agustus 1945, atas nama rakyat Indonesia, Sukarno Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Meski begitu, penjajah Belanda tak sudi mengakui kemerdekaan Indonesia. Maka pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya di Yogyakarta, lalu menangkap pemimpin-pemimpin negeri ini seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan H. Agus Salim. Dan mereka dibuang ke Parapat dan Bangka.
November 1949, Bung Hatta pergi ke Belanda untuk perundingan diplomatik dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi yang dihadiri oleh Kerajaan Belanda, Republik Indonesia, dan gabungan negara-negara federal itu berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan bangsa Indonesia. Kelak ia mengungkapkan bahwa dalam hidupnya ada dua puncak yang memuaskan hatinya. Pertama, sebagai koproklamator kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan kedua, sebagai wakil bangsa Indonesia yang menandatangani dokumen pengakuan kedaulatan oleh pihak Belanda (H. Rosihan Anwar, 2010, Sutan Sjahrir Demokrat Sejati, Pejuang Kemerdekaan ). Bung Hatta pun pulang membawa senyum kemenangan.
Kini, kemerdekaan yang susah payah digapai dan dipertahankan itu dijual dengan murah meriah oleh pimpinan negeri ini kepada imperialis asing. Di mana kemerdekaan yang kita peringati tiap tahun? Setidaknya itu masih bersisa di dalam pasal konstitusi;
”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa