Oleh: Eka Santi
Hidayatullah.com | Pemerintah menetapkan Pulau Komodo dan Pulau Rinca sebagai taman nasional sejak 1980. Belum lama ini muncul berita rencana penutupan Pulau Komodo dalam kawasan Taman Nasional (TN) Komodo di Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara (NTT).
Isu terakhir ini dihembuskan oleh Menko Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan. Pemerintah berencana membuat Pulau Komodo seperti di ‘Jurassic Park’. Rencana penutupan ini mendapat tanggapan berbagai pihak.
Kabar soal aksi pembangunan lokasi wisata ini juga mendapat sorotan dari sejumlah media asing. Situs Bangkok Post misalnya, dalam artikel bertajuk “Indonesia says ‘Jurassic Park’ project no threat to Komodo dragon” menyoroti soal Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia yang berusaha meredakan kemarahan atas pembangunan proyek pariwisata pulau yang dijuluki “Jurassic Park“. Kemarahan muncul setelah sebuah gambar viral di media sosial tentang seekor komodo yang berhadapan dengan truk besar.
Gambar komodo, salah satu kadal terbesar di dunia, menghalangi jalur kendaraan besar di Pulau Rinca, Indonesia memicu luapan amarah tentang ancaman yang dirasakan terhadap habitat alami spesies yang rentan tersebut.
Isu ini juga disorot oleh media Australia yaitu ABC News. ABC juga menyoroti upaya pemerintah Indonesia yang berencana untuk menghabiskan 69 miliar rupiah untuk pengembangan Pulau Rinca, yang akan mencakup geopark seluas 1,3 hektar dan pusat informasi seluas 4.000 meter persegi, demikian disebutkan dalam artikel bertajuk “Indonesia’s Jurassic Park-inspired tourist attraction worries Komodo dragon fans.”
Akbar Allayubi, warga Pulau Komodo, telah bekerja sebagai pemandu wisata taman selama tujuh tahun terakhir mengatakan kepada ABC tidak diajak berkonsultasi atau dilibatkan dalam keputusan untuk mengembangkan lebih banyak infrastruktur pariwisata di pulau-pulau tersebut.
“Definisi konservasi kami tidak ada hubungannya dengan membuat keuntungan finansial,” kata Allayubi. “Menurut nenek moyang kita, konservasi berarti hidup bersama dengan komodo dalam ekosistemnya sendiri,” tambahnya.
Mayoritas menyesali aksi pembangunan yang mengganggu tempat tinggal komodo sebagai hewan dilindungi. Bahkan ada warganet melihat hal ini sebagai tanda awal kepunahan komodo, hingga muncul tagar #savekomodo di dunia maya.
Dalam waktu singkat, foto itu langsung viral di media sosial dan mendapat kecaman baik di masyarakat setempat mau pun travel influencer, aktivis hingga komedian. Tagar #savekomodo ikut menyertai di dunia maya.
Salah satunya adalah Lostpacker atau Sutiknyo, seorang travel influencer yang juga merupakan seorang videografer. Dalam unggahan di laman Instagramnya, Lostpacker menyebut kalau ia sudah hopeless melihat perlakuan yang diterima komodo di habitat aslinya tersebut.
“Melihat beberapa kejadian di Taman Nasional Komodo kok sepertinya saya sudah hopeless. Diganggu mulu kehidupan “modo” di rumahnya sendiri. Buat masyarakat kampung Komodo, keberadaan modo atau ora ini adalah bagian dari keluarga,” tulis Lostpacker.
Tak hanya Lostpacker, foto komodo versus truk pembangunan Pulau Rinca turut bikin kalangan artis bersuara. Bintang Emon, Fiersa Besari, hingga Melanie Subono ikut protes.
“Maaf kan kami komodo … hotel dll bukan habitat mu, yang kami ajak bicara hanyalah tembok uang tanpa hati . Batu. Semoga reinkarnasi nya pada jadi kecoak nanti,” tulis Melanie di akun Instagramnya.
Bintang Emon, komika yang begitu vokal dengan beberapa isu yang ramai, melancarkan sindirian. Ia menyebut pembangunan wisata di Taman Nasional Komodo itu cuma akan menguntungkan investor. penduduk lokal nantinya akan mendapatkan upah sebagai buruh.
“Ambil aja bos semuanya, duitin aja semuanya. Pulau Komodo, bikin bangunan yang akan buat kaya investor yang nggak tahu orang mana tuh,” tulisnya.
Bintang film Susah Sinyal ini mengatakan semua tahu satwa komodo masuk dalam tujuh keajaiban dunia karena menjadi salah satu binatang purba yang bisa bertahan hingga kini. “Dia bisa bertahan karena konservasi bukan investasi. Dia bertahan karena alam bukan saham. Jadi stop ganggu itu komodo,” ucapnya.
Dikutip dari TEMPO.CO, Komika, Abdurrahim Arsyad akhirnya ikut bersuara mengenai pembangunan di kawasan Taman Nasional Komodo di Pulau Rinca. Ia merekam pendapatnya dan diunggah di akun Instagramnya, Sabtu, 21 November 2020.
“Komodo dengan semen memang berteman dengan lama. Contohnya semen Kupang. Museum Kota Kupang dan di Strat A. Tapi kalau kalian mau bikin pembangunan yang tidak memperhatikan habitat komodo, ini yang tidak bisa”.
Abdur mengatakan, masyarakat peduli Komodo selama ini punya tujuan saat memprotes pembangunan di Timur. Bukan semata memprotes pembangunan di Pulau Rinca yang mengganggu kelangsungan hidup komodo.
“Kami stand up protes pembangunan di Timur itu biar kalian bikin rumah sakit dan sekolah di pelosok,” katanya.
Ia menyindir para investor yang getol hendak membuat wisata premium di Kawasan Taman Nasional Komodo yang tujuannya meraup untung banyak bukan demi pelestarian satwa langka itu. Menurut pemilik gelar magister pendidikan ini, komodo tak perlu yang aneh-aneh untuk hidup.
“Itu komodo, kalian kasih kerbau dengan air dia hidup. Tidak perlu hotel, tak perlu resort. Dia sudah menjadi keajaiban dunia dengan sendirinya. Kalian mau bikin keajaiban apa? Bikin Taj Mahal di sana? Beta tak lihat komodo bergaya Koi Mil Gaya atau berlari di air, di pantai menyanyi Kaho Na Pyar Hai,” katanya sambil menyanyi lagu India itu lalu diakhiri ajakan untuk menjaga dan mengawal Taman Nasional Komodo.
Persepsi pengelolaan kolaborasi tidak hanya dilihat sebagai upaya konservasi semata, tidak pula dilihat sebagai upaya peningkatan nilai ekonomi melalui investasi swasta. Tapi, harus melihat upaya pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat lokal sehingga kawasan konservasi tetap terjaga, nilai ekonomi wilayah meningkat, dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan terpenuhi dengan baik.
Nilai ekonomi yang dimiliki oleh Taman Nasional Komodo harus dihitung dari cara pandang pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang hanya melihat satu generasi akan membahayakan kelestarian kawasan tersebut. Pembangunan yang berasal dari atas (penguasa) dan tidak melihat daya dukung masyarakat lokal sama saja membunuh ekosistem yang sudah ada.
Dapat disimpulkan bahwa semangat adanya upaya konservasi harus dimaknai sebagai semangat pelestarian alam beserta potensi lingkungan di dalamnya. Nilai ekonomi yang sebenarnya hanya dirasakan oleh manusia tidak boleh melebihi upaya konservasi itu sendiri.
Penetapan kawasan premium ini seperti melabeli komodo adalah barang yang mahal, maka untuk mendapatkan manfaatnya kita harus membayar mahal. Seharusnya kita melindungi populasi komodo tersebut, agar tidak mengalami kepunahan suatu hari nanti, jangan sampai karena mengutamakan ekonomi pada pihak tertentu, dapat mengakibatkan ekosistem hewan langka ini punah, bahkan terancam hilang.*
Mahasiswa STID-M Natsir