Hidayatullah.com—Negara-negara sekutu yang tergabung dalam NATO seharusnya menunjukkan solidaritas yang lebih dalam memerangi teror global, kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
“Solidaritas adalah satu-satunya antidot untuk teror. Berbagi informasi intelijen secara real time adalah sebuah keharusan dan NATO seharusnya memberikan dukungan kepada negara-negara sekutu,” kata Erdogan kepada para reporter dalam konferensi pers sebelum keberangkatannya menuju KTT NATO di Brussels, Belgia, yang digelar pada Kamis, 25 Mei 2017.
Anggota-anggota NATO diyakini akan mendiskusikan bagaimana aliansi pertahanan itu bisa lebih memberikan dukungannya dalam memerangi terorisme dan apakah organisasi itu secara institusional harus menjadi bagian dari koalisi internasional dalam memerangi ISIS/ISIL alias Daesh, atau tidak.
“Semua ancaman asimetris ini mengancam baik keamanan nasional maupun internasional. Dia antara ancaman itu, teror muncul pertama. Dibutuhkan adanya pendekatan yang sungguh-sungguh, penuh keyakinan dan konsisten. Khususnya, semua sekutu NATO berkewajiban untuk menunjukkan solidaritas dan kerja sama sepenuhnya,” kata Erdogan seperti dikutip Hurriyet.
Serangan teror baru-baru ini di St. Petersburg, Stockholm, Paris dan Manchester menunjukkan bahwa terorisme adalah masalah global, bukan regional, imbuh Erdogan.
“Realita ini perlu diakui: Teror bukan masalah satu negara, melainkan masalah seluruh dunia. Isu-isu global harus ditanggapi dengan kerja sama semua pihak,” kata Erdogan, mengeluhkan bahwa sejumlah negara masih membeda-bedakan mana yang kelompok teror dan mana yang bukan.
Turki saat ini terlibat dalam peperangan melawan kelompok ISIS di Iraq, serta menyerang kelompok-kelompok bersenjata yang mencoba memperlebar area peperangan ke wilayahnya yang berbatasan dengan Suriah. Sementara Amerika Serikat mempersenjatai pasukan Kurdi YPG dengan alasan milisi itu ikut memerangi ISIS, pemerintah Erdogan menganggap YPG sebagai teroris teman dari Partai Pekerja Kurdi (PKK), organisasi orang-orang Kurdi di Turki yang dinyatakan terlarang dan dicap sebagai kelompok pemberontak.
Turki ikut mengirimkan pasukannya ke Afghanistan, yang tahun-tahun belakangan selain menghadapi Taliban juga menghadapi teror ISIS. Saat ini, bersama dengan Amerika Serikat, Turki memimpin misi NATO di Afghanistan yang dikenal dengan Resolute Support Mission (RSM). Jenderal John W. Nicholson dari Amerika Serikat menjabat sebagai komandan militer misi tersebut, sementara Dubes Ismail Aramaz dari Turki menjabat sebagai Perwakilan Sipil Senior NATO. Januari 2017, pemerintah Erdogan memutuskan untuk memperpanjang keberadaan pasukannya di Afghanistan dan menambah kekuatannya di sana. Berdasarkan data NATO per Desember 2016, jumlah tentara Turki yang ditugaskan di Afghanistan dalam RSM mencapai 532 personel, lebih banyak dari Inggris yang mengirim 450 personel.*