Hidayatullah.com—Rakyat di Republik Irlandia telah memutuskan secara mayoritas mutlak untuk mendukung liberalisasi undang-undang perceraian, lewat referendum yang digelar hari Jumat (24/5/2019).
Konstitusi saat ini menyatakan bahwa pasangan suami-istri harus hidup terpisah selama 4 dari lima tahun terakhir sebelum perceraian.
Namun, klausa itu sekarang akan diubah, membolehkan Oireachtas (parlemen Irlandia) untuk menentukan periode separasi sebelum perceraian dikabulkan, lapor BBC.
Perceraian dilegalisasikan di Irlandia pada tahun 1995. Dalam referendum tahun itu, yang mendukung diperbolehkannya perceraian hanya 50,3%.
Dalam referendum hari Jumat kemarin, yang mana 2 dari 31 daerah pemilihan belum dihitung hasilnya, para pemilih memberikan dukungan suara sebanyak 82,1% untuk liberalisasi perceraian tersebut, sedangkan 17,9% menentang, menurut hasil perhitungan lembaga penyiaran pemerintah Irlandia RTE.
Partai-partai politik utama di Irlandia semuanya mendukung pelonggaran undang-undang perceraian. Suara penentangan muncul dari kelompok-kelompok penekan Katolik seperti Iona Institute.
Direktur Iona Institute David Quinn mengatakan bahwa dia tidak keberatan soal masa tunggu empat tahun sebelum perceraian diubah menjadi 2 tahun. Hanya saja dia tidak ingin undang-undang perceraian dihapus sama sekali dari konstitusi.
Di negara tersebut, perubahan apapun dalam konstitusi Irlandia harus dimintakan suara dukungan mayoritas rakyat lewat referendum.
Sebelum referendum digelar, pemerintah mengindikasikan bahwa mereka berkeyakinan dua tahun masa separasi adalah waktu yang cukup lama sebelum perceraian.
Menurut Eurostat, rata-rata kotor perceraian di Republik Irlandia adalah 0,6% pertahun per 1.000 orang. Bandingkan dengan 1,9% di Inggris dan 3,2% di Amerika Serikat.
Sebelum referendum perubahan aturan perceraian, Republik Irlandia menggelar referedum pelonggaran aturan aborsi –tindakan yang sangat dilarang dalam ajaran Katolik.
Negara Irlandia merupakan satu dari segelintir negara-negara Eropa yang rakyatnya masih memegang erat tradisi agama Katolik. Namun, dalam dekade terakhir pengaruh Katolik berkurang, diperparah dengan kemarahan terhadap kasus-kasus pelanggaran seksual di lingkungan gereja yang terus bermunculan.*