Hidayatullah.com—Perdana Menteri Pantai Gading PM Amadou Gon Coulibaly meninggal dunia setelah jatuh sakit saat menghadiri rapat kabinet.
Politisi berusia 61 tahun itu dipilih sebagai calon presiden dari partai penguasa untuk pemilihan bulan Oktober mendatang, setelah Alassane Ouattara mengatakan tidak akan mencalonkan diri untuk periode ketiga.
Presiden Ouattara mengatakan negara berduka akan kematian PM Gon Coulibaly, lansir BBC Rabu (8/7/2020).
“Saya menyampaikan penghormatan untuk adik saya, putra saya, Amadou Gon Coulibaly, yang selama 30 tahun menjadi mitra terdekat saya,” kata Presiden. “Saya memberikan penghormatan kepada negarawan ini yang akan dikenang karena loyalitasnya, pengabdiannya dan kecintaannya yang sangat tinggi kepada tanah airnya.”
Dia mengatakan bahwa Gon Coulibaly jatuh sakit ketika mengikuti rapat kabinet mingguan, kemudian dilarikan ke rumah sakit di mana dia menghembuskan napas terakhirnya.
Gon Coulibaly menjalani transplantasi jantung pada tahun 2012 dan berangkat ke Paris pada tanggal 2 Mei untuk prosedur pemasangan stent. Gon Coulibaly baru saja kembali dari Prancis.
Sekembalinya hari Kamis pekan lalu dia berkata, “Saya kembali untuk mengambil tempat saya di sisi Presiden, untuk melanjutkan tugas membangun dan memajukan negara kita.”
Gon Coulibaly termasuk yang difavoritkan untuk memenangkan pemilihan presiden tahun ini.
Sebuah artikel di koran Prancis Le Monde hari Senin (6/7/2020) mengutip perkataan seorang pengamat yang berkata, “Apabila Gon Coulibaly tidak sehat, Ouattara tidak punya pilihan kecuali maju sebagai calon presiden karena tidak ada rencana B.”
“Masalah tersebut sejauh ini masih tabu sebab Presiden sudah jelas menunjukkan keinginannya untuk meninggalkan jabatannya dan mengindikasikan siapa orang pilihan yang akan menggantikannya.”
Keputusan Ouattara untuk tidak lagi mencalonkan diri sebagai presiden, yang diumumkan pada bulan Maret, mengejutkan seantero negeri.
Kala itu, jurnalis BBC James Copnall dari Abidjan melaporkan, bahwa ada pujian dari para politisi terhadap Ouattara karena mendobrak kebiasaan di Afrika di mana pemimpin biasanya ingin terus berkuasa selama mungkin.
Para pendukung Ouattara mengatakan dia membawa pertumbuhan ekonomi, stabilitas dan citra baru yang lebih baik di panggung internasional bagi negara Pantai Gading.
Namun, para oposisi dan sebagian rakyat mengatakan Presiden Ouattara belum cukup berbuat banyak untuk menyatukan negara, mengobati luka dari getirnya konflik yang memecah Pantai Gading yang telah membawanya ke puncak kekuasaan.
Sekitar 3.000 orang diperkirakan tewas dalam perang saudara yang dipicu akibat penolakan capres Laurent Gbagbo untuk mengakui kekalahannya dari Ouattara pada pemilu tahun 2010. Konflik berakhir pada bulan April 2011 setelah pasukan yang loyal kepada Ouattara menangkap Gbagbo.
Pertikaian politik panjang antara Gbagbo dan Ouattara, dan dengan mantan presiden Henri Konan Bedie, menimbulkan malapetaka bagi negara Pantai Gading.*