Hidayatullah.com—Militer Myanmar mengatakan sedang menyelidiki “kemungkinan pola pelanggaran yang lebih luas” sebelum dan selama penumpasan tahun 2017 di negara bagian Rakhine. Penumpasan yang menurut PBB dilakukan dengan maksud genosida terhadap Muslim Rohingya.
Lebih dari 730.000 Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh tahun itu setelah peluncuran “kampanye keamanan” besar-besaran. Para pengungsi mengungkap pembunuhan massal, pemerkosaan berkelompok, dan pembakaran terjadi selama kampanye itu.
Tentara telah membantah melakukan genosida, mengatakan mereka melakukan operasi yang sah terhadap pemberontak Rohingya. Tetapi tentara mengakui pihaknya telah mengadili beberapa pasukan atas insiden di desa-desa tertentu, meskipun rincian tentang pelakunya, kejahatan mereka, dan hukumannya tak pernah dirilis.
Militer, dalam sebuah pernyataan yang dimuat di media pemerintah pada hari Selasa (15/09/2020), untuk pertama kalinya mengakui kemungkinan pola pelanggaran yang lebih luas.
Dikatakan Kantor Jaksa Agung yang dikelola militer telah meninjau laporan oleh komisi yang didukung pemerintah yang menuduh tentara melakukan kejahatan perang dan telah memperluas cakupan penyelidikan sebagai tanggapan.
Kantor tersebut “menyelidiki kemungkinan pola pelanggaran yang lebih luas di wilayah utara Rakhine pada 2016-2017”, kata militer dalam pernyataan itu, Al Jazeera melaporkan.
“Tuduhan mengenai desa-desa di wilayah Maungdaw termasuk dalam ruang lingkup penyelidikan yang lebih luas ini,” kata militer, merujuk pada distrik di perbatasan dengan Bangladesh yang menjadi fokus “operasi keamanannya” pada 2017.
Tidak ada rincian lebih lanjut dan seorang juru bicara militer tidak menjawab panggilan telepon oleh Reuters untuk dimintai komentar lebih lanjut.
Pengumuman itu menyusul laporan pekan lalu bahwa dua tentara Myanmar telah dibawa ke Den Haag untuk dihadirkan sebagai saksi atau diadili. Keduany mengaku tentara Myanmar telah membunuh puluhan penduduk desa di utara negara bagian Rakhine dan menguburkan mereka di kuburan massal.
Pada hari Senin (14/09/2020), Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet menuntut tindakan untuk memperbaiki pelanggaran hak serius yang diderita oleh minoritas Rohingya.
Desa Rohingya Dihapus dari Peta
Itu terjadi kurang dari seminggu setelah PBB mengatakan bahwa Myanmar menghapus nama desa Rohingya Kan Kya dari peta resmi. Militer telah membakar desa Rohingya hingga rata dengan tanah dan membuldoser sisa-sisanya tiga tahun lalu setelah kampanye brutal terhadap minoritas Muslim.
Sekitar tiga mil (lima km) dari Sungai Naf yang menandai perbatasan antara negara bagian Rakhine Myanmar dan Bangladesh, Kan Kya adalah rumah bagi ratusan orang sebelum tentara mengusir ratusan ribu Rohingya keluar dari negara itu dalam apa yang digambarkan PBB sebagai “contoh buku teks pembersihan etnis”.
Tempat Kan Kya pernah berdiri, sekarang ada lusinan bangunan pemerintah dan militer termasuk pangkalan polisi yang luas dan berpagar, menurut gambar satelit yang tersedia untuk umum di Google Earth dan gambar sejarah yang diberikan kepada Reuters oleh Planet Labs. Desa, di daerah terpencil di barat laut negara yang tertutup bagi orang asing, terlalu kecil untuk dinamai di Google Maps.
Pada peta yang diproduksi pada tahun 2020 oleh unit pemetaan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Myanmar, yang dikatakan didasarkan pada peta pemerintah Myanmar, situs desa yang hancur sekarang tidak bernama dan diklasifikasikan kembali sebagai bagian dari kota terdekat Maungdaw. Unit tersebut membuat peta untuk penggunaan oleh badan-badan PBB, seperti badan pengungsi UNHCR, dan kelompok kemanusiaan yang bekerja sama dengan PBB di lapangan.
Kan Kya adalah satu dari hampir 400 desa yang dihancurkan oleh militer Myanmar pada 2017, menurut gambar satelit yang dianalisis oleh Human Rights Watch yang berbasis di New York. Dan itu adalah salah satu dari setidaknya selusin desa yang namanya telah dihapus.*