Hidayatullah.com–Berlangsungnya kesepakatan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dengan China (ACFTA) yang dimulai sejak awal tahun ini, banyak kalangan yang mengkhawtirkan kualitas dan sisi kehalalan produk impor dari China. Khususnya produk-produk makanan minuman (mamin) hasil olahan (dalam bentuk kemasan).
Namun pihak Departemen Kesehatan RI menegaskan, bahwa produk makanan dari China tetap mendapat perhatian dan seleksi ketat sebelum dipasarkan ke konsumen di Indonesia. Beberapa aturan sudah diterapkan terkait kepastian keamanan dan kehalalan makanan impor dari negeri yang produknya kencang menyebar di Indonesia ini.
Diantara aturan-aturan itu adalah keharusan produsen China menyebutkan semua unsur-unsur apa saja yang tekandung dalam produk-produknya. Selain itu, pihak importir harus menjelaskan rinci jika makanan atau minuman yang diproduksi mengandung bahan-bahan haram.
“Makanan impor dari China harus menulis di kemasannya, misalnya, mengandung gelatin babi, kalau memang mengandung bahan itu,” kata Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Dra. Sri Indrawaty Apt, M.Kes, saat ditemui Hidayatullah.com disela-sela acara seminar sehari yang bertajuk ” Pentingnya Penyediaan Obat Halal di Indonesia” di Jakarta.
Pencantuman keterangan tersebut, lanjut Indrawaty, mesti jelas tercetak dikemasan dan harus dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut adalah sebagai bentuk antisipasi keamanan dan jaminan produk bagi konsumen.
“Keterangan dicantumkan di kemsasan harus dalam bahasa Indonesia, karena konsumen adalah warga Indonesia. Semua dievaluasi dan kami minta itu,” tambahnya.
Produk-produk makanan dan minuman dari China, tandasnya lagi, harus pula menyertakan pada kemasan apakah produk tersebut halal atau haram. Jika dipastikan mengandung bahan dan cara pengolahannya halal, maka harus mendapatkan sertifikasi halal.
“Sertifikasi halal dikeluarkan oleh LPPOM MUI. Sedangkan sertifikasi dari segi keamanan, mutu, dan manfaat oleh BPPOM RI,” pungkasnya.
Tak ada Obat Bersertifikat Halal
Sementara itu, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mengungkapkan, bahwa saat ini belum ada satu pun merek obat yang beredar di tanah air yang sudah mendapatkan sertifikasi halal.
Menurut Lukmanul, kenyataan tersebut terjadi karena produsen obat lebih mengutamakan mendapat sertifikasi keamanan, khasiat dan mutu dari Kementerian Kesehatan, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPPOM) RI.
Padahal, kata dia, sebagian besar konsumen obat adalah masyarakat muslim. Apalagi kepedulian dan kesadaran masyarakat tentang produk halal dan haram terus meningkat tiap tahunnya. Sebab bagi kaum muslim, lanjut dia, mengonsumsi obat sama dengan mengonsumsi pangan yaitu harus halal dan baik proses pengolahan dan asal bahannya.
“Selama 20 tahun LPPOM berdiri belum ada satu pun produsen obat yang mendaftarkan produknya untuk sertifikasi halal,” kata Direktor LPPOM MUI Ir Lukmanul Hakim ketika berbicara pada acara seminar yang digelar Gedung Balai Kartini, Jakarta, tersebut.
Sehingga menurut Lukmanul, perlu ada upaya sistematis dari pemerintah dan pemangku kepentingan lain seperti produsen farmasi, apoteker, dokter, MUI, pebisnis obat dan vaksin serta ilmuwan dari perguruan tinggi untuk membahasnya.
Tujuan sertifikasi halal itu sendiri sebagai bentuk perlindungan konsumen agar dapat memakai obat dengan nyaman dan tak lagi khawatir dengan status suatu obat apakah halal atau haram. [ain/hidayatullah.com]