Sambungan dari Artikel PERTAMA
Oleh: Mahmud Budi Setiawan
PADA tahun ke sembilan hijriah, ketika utusan Kristen Najran, Yaman pergi ke Madinah (Muhammad Shallābi, al-Sīrah al-Nabawiyah `Ardhu Waqāi` wa Tahlīlu Ahdāts, hal. 248), mereka disambut dengan baik oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Beliau mengirim surat kepada uskup mereka, Abu al-Harist. Inti suratnya tentang : jaminan keamanan dalam menjalankan ibadah. Toleransi ini tidak hanya berlaku kepada agama Nashrani saja, agama-agama lain pun mendapat perlakuan yang sama selama mereka mau menaati perjanjian dalam Piagam Madinah. Adapun kasus Yahudi (bani Qainuqā`, Nadhīr dan Quraidhah) yang diusir dan diperangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dan para sahabatnya, lantaran mereka menyalahi janji Piagam Madinah.
Ketiga, Dalam hal interaksi sosial, beliau sangat toleran (tentu saja selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari`ah).
Ada kisah menarik yang berkaitan dengan hal tersebut. Menurut riwayat Anas bin Malik, suatu ketika pelayan Rasulullah (anak Yahudi) sakit sehingga tidak bisa datang melayani. Nabi pun menjenguknya lalu duduk di samping kepalanya.
Beliau mengatakan: “Masuk Islamlah!”. Mendegar perkataan Rasul, anak itu melihat kepada bapaknya yang berada di sampingnya. Bapaknya pun berkata: “Taatilah Abu Qosim (Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam)! Lalu anak itu masuk Islam. Setelah selesai, beliau berkata: “Segala puji bagi Allah, yang telah menyelamatkannya dari api neraka.”( baca: al-Rahmah fī Hayāti al-Rasūl, hal. 236).
Kisah tersebut memberikan gambaran tentang begitu besarnya toleransi beliau dalam berinteraksi dengan orang non-Muslim. Di samping itu, beliau tetap punya prinsip bahwa agama Islam lah yang paling benar.
Dalam kasus anak Yahudi ini, toleransi tidak menghalangi beliau mendakwahkan kebenaran Islam. Hal ni sangat jauh berbeda dengan kebanyakan pembela pluralisme agama yang merelatifkan kebenaran.
Lebih dari itu, dalam Sīrāh Nabawiah ada banyak sekali kisah berkaitan dengan interaksi sosial Rasulullah bersama orang non-Muslim, di antaranya: berdiri menghormati jenazah orang Yahudi (Diriwayatkan oleh Bukhari no. 1313, Muslim no. 960, An-Nasaa’i no. 1921, dan yang lainnya); ketika meninggal, baju besinya pun tergadai pada orang Yahudi (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah Ra.); pernah menyuruh Sa`ad bin Abi Waqash memanggil dokter non-Nuslim, al-Hārits bin al-Kaldah untuk mengobatinya (baca: Dr. Ragib al-Sirjāni, Qishshatu al-`Ulūm al-Thibbiyah fi al-Hadhārati al-Islāmiyati, hal. 31); pernah menggunakan sistem qōnūn ijāarah (suaka politik Muth`im bin Addi terhadap Rasul, dan Ibnu al-Dughunnah terhadap Abu Bakar) sistem orang kafir ketika masih di Makkah; pernah mengizinkan ibu Asma` binti Abi Bakar bertemu Asma` di Madinah padahal pada waktu itu masih musyrik (HR. Bukhari[3012], Muslim[1003], Abu Daud [1668], dan Ahmad[26960]).
Kisah-kisah itu menunjukkan bahwa toleransi sosial Rasulullah ialah dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syari`ah.
Dari pemaparan tadi, bisa disimpulkan bahwa:
Pertama, toleransi agama dalam perspektif sīrāh nabawiah ternyata berbeda dengan toleransi yang dimaksud oleh pembela pluralisme agama.
Kedua, toleransi hanya dalam memberi hak pemeluk agama lain menjalankan ritual agamanya, adapun dalam akidah dan ibadah tidak ada toleransi.
Ketiga, toleransi berlaku dalam ranah sosial yang tidak bertentangan dengan syari`at Islam.
Keempat, toleransi tidak menghalangi umat Islam merasa agamanya paling benar. Rasulullah adalah orang yang sangat toleran, tapi juga tetap mendakwahkan agama Islam sepanjang hayatnya. Kalau toleransi agama dimaknai sebagai dasar dari pluralisme agama, maka buat apa Nabi Muhammad susah-susah berdakwah selama 23 tahun? Wallahu a`lam bi al-shawāb.*
Penulis adalah peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014