Hidayatullah.com– Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Teuku Nasrullah, memandang ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 termasuk dalam kategori penistaan agama.
Ia merujuk pada tafsir hukum kasus penistaan agama yang berlaku selama ini. Sudah berkali-kali, kata Teuku, kasus semacam Ahok ini telah menjadi putusan Mahkamah Agung.
“Putusan Mahkamah Agung yang berkali-kali, yang dianggap tetap, ajeg, itu sudah yurisprudensi. Yurisprudensi juga menjadi salah satu sumber hukum kita,” terangnya kepada hidayatullah.com, baru-baru ini.
Kalau hari ini perbuatan sejenis Ahok tidak dinyatakan penistaan agama, lanjutnya, maka berarti ada perubahan politik penegakan hukum di rezim yang sekarang.
Ia mengingatkan, bila Majelis Hakim tidak memvonis Ahok dengan pasal penistaan agama, maka akan berdampak luas dan sistemik. Orang-orang yang dulu dipidana dengan pasal penistaan agama, ujar Teuku, bisa mengajukan peninjauan kembali dan meminta putusan hukum Mahkamah Agung atas dirinya diperbaiki.
Selain itu, tambahnya, ke depan, orang-orang akan dengan gampangnya mengeluarkan pernyataan seperti Ahok. Dan tidak bisa lagi mereka dikenakan pasal penistaan agama.
Baca: KSHUMI: Majelis Hakim Harus Adil, Memvonis Ahok tanpa Terintervensi
Lebih lanjut, ia menjelaskan Surat Edaran (SE) Mahkamah Agung tentang perlunya pemberian sanksi maksimum bagi penista agama. Kata Teuku, sanksi maksimum itu penahanan lima tahun, dan disesuaikan dengan rasa keadilan setempat. Seberapa besar dampak gangguan ketertiban umum oleh penista agama.
“(Dalam kasus Ahok) kita lihat dulu, ada enggak ketertiban umum? Besar enggak gangguan ketertiban umum yang timbul?” ujarnya.
Saat ditanya besar tidak gangguan ketertiban umum yang ditimbulkan Ahok, Teuku menjawab, “Masyarakat bisa merasakan.”
Sebelumnya, pengamat hukum dan hak asasi manusia (HAM), Nasrulloh Nasution menilai, kehidupan berbangsa di Indonesia saat ini sedang mengalami krisis. Krisis kebangsaan, kata dia, dapat dilihat dari banyaknya perselisihan yang terjadi di antara anak bangsa.
“Satu sama lain saling lapor (polisi), saling hujat dan mempertontonkan kekuatan masing-masing,” ungkap Nasrulloh diberitakan hidayatullah.com.
Baca: Pengamat Hukum: Lantaran Seorang Ahok, Satu Negara Gaduh
Ia menilai, gaduh politik dan hukum yang terjadi saat ini, diawali oleh kasus penistaan agama dengan terdakwa Ahok di Kepulauan Seribu (27/09/2016). “Sejak kasus itu, masyarakat Indonesia terpecah, dan hukum dijadikan alat untuk memuaskan hasrat masing-masing kelompok,” ujar Koordinator Persidangan Tim Advokasi GNPF ini.* Andi