Hidayatullah.com– Masyarakat curiga terhadap DPR RI jika dewan perwakilan rakyat ini tetap bersikeras mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang selama ini terus menuai penolakan dari banyak pihak.
Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia Rita Soebagio mencermati, sikap sebagian anggota Panitia Kerja (panja) RUU P-KS Komisi VIII DPR yang terus bersikeras untuk mengesahkan RUU P-KS walaupun muncul penolakan dari berbagai elemen masyarakat, secara jujur harus diakui telah melahirkan sejumlah pertanyaan bahkan kecurigaan.
“Sebagai lembaga represetasi rakyat, DPR tentu sangat diharapkan untuk tetap mengedepankan fungsi legislasinya secara etis dan elegan, ketika menyusun dan membahas RUU, khususnya RUU P-KS yang telah memicu perdebatan tajam sejak kemunculannya draftnya di tahun 2016 silam,” ungkapnya dalam siaran pers terbarunya kepada hidayatullah.com Jakarta, Kamis (26/09/2019).
Kendati menyisakan dua atau mungkin tiga kali masa persidangan, sebelum masa bakti DPR periode 2014-2019 berakhir, Aila Indonesia berharap agar RUU P-KS tetap ditunda pembahasannya, agar kelak DPR pada masa ini tidak tercatat dalam tinta sejarah bangsa ini telah melahirkan sebuah produk hukum yang bukan hanya cacat secara materil tetapi juga formil.
Pandangan ini, jelasnya, tentu bukan tanpa alasan. Aila Indonesia sejak tahun 2016 telah secara serius mengikuti dan mencermati beberapa tahapan dalam proses penyusunan RUU P-KS. Berdasarkan catatan tim hukum Aila Indonesia, RUU P-KS justru terkesan hendak dipaksakan untuk disahkan.
“Dengan demikian dapat dipastikan, RUU P-KS mengandung sejumlah cacat formil atau prosedural dalam proses penyusunannya,” imbuhnya.
Baca: AILA Tolak Pengesahan RUU P-KS Agar Tak Akomodasi Zina & LGBT
Dalam hal ini, Aila Indonesia berpandangan bahwa RUU P-KS tidak sejalan dengan asas kejelasan tujuan. Kendati disebutkan bahwa RUU ini adalah untuk penanganan, perlindungan, pemulihan korban dan penindakan pelaku, tapi ada indikasi kuat bahwa empat aspek tersebut justru mengabaikan pondasi yang paling penting yang harus dijunjung dalam penyusunan sebuah UU yaitu menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara.
“Jika RUU ini tetap dipaksakan untuk disahkan, maka ketika dibawa ke Mahkamah Konstitusi dan dinilai prosedurnya tidak memenuhi pengujian formal, dapat dipastikan RUU P-KS akan dibatalkan secara keseluruhan,” ujarnya.
Sebagaimana ditahui, terangnya, problem substantif RUU P-KS adalah filosofinya yang menganut paham “kebebasan seksual” berkedok perlindungan pada korban.
“Sesungguhnya RUU P-KS bertujuan untuk merekonstruksi konsep dan makna seksualitas supaya moral, nilai, dan agama menjadi tidak relevan lagi!” ungkap Rita.
Sebelumnya diberitakan, Kamis (26/09/2019) ini RUU P-KS yang selama ini menuai penolakan dan kontroversi ada kemungkinan disahkan oleh DPR RI. Isyarat tersebut disampaikan oleh Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet), Rabu (25/09/2019).
RUU P-KS bisa dibilang “luput” dari aksi mahasiswa selama tiga hari belakangan ini, sejak Senin (23/09/2019). Walaupun sejak awal RUU P-KS menuai hujan kritikan, tapi fokus utama mahasiswa dalam demo terlihat hanya pada Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Menurut Bamsoet, RUU P-KS kemungkinan disahkan dalam rapat paripurna Kamis (26/09/2019) ini.
Katanya, agenda paripurna besok adalah pengambilan keputusan terkait Undang-Undang (UU) yang telah selesai dibahas. Akan tetapi, politisi Partai Golkar ini tidak merinci RUU apa saja yang akan disahkan.
Baca: AILA: Penyusup di Aksi Mahasiswa Tuntut Pengesahan RUU P-KS
Kepastian dari Ketua Panja RUU P-KS
Sedangkan Ketua Panja RUU PKS Marwan Dasopang menyebut kepastian RUU P-KS tidak akan disahkan pada periode 2014-2019. Sebab katanya massa jabatan anggota DPR kali ini akan berakhir dan para wakil rakyat periode 2019-2024 akan segera dilantik pada 1 Oktober 2019.
“Tidak mungkin dong (selesai periode ini), enggak mungkin lagi,” ujar Marwan di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (25/09/2019) kutip Liputan6.com Kamis (26/09/2019).
Menurut Marwan, saat ini Panja baru menyepakati pembentukan Tim Perumus (Timus) yang bertugas membahas seluruh daftar inventarisasi masalah (DIM) dan seluruh pasal dalam draf RUU PKS.
Pembahasannya pun harus mendetail pada setiap pasalnya. “Kami belum sampai kesepahaman substansi, baru kesepahaman untuk percepatan tata cara membuat. Maka dibentuk timus,” sebutnya.
Nantinya, tim itu akan membandingkan ketentuan pidana dalam RUU P-KS dan Revisi UU KUHP. Soalnya, pasal mengenai tindak pidana kekerasan seksual di RUU KUHP juga belum mencapai kesepakatan.
“Sehingga nanti kita bila membuat ini sebagai UU lex specialis, kami menambah pembobotan pidananya di mana,” sebutnya.*