KASUS intoleran makin massif terjadi. Belum lama ini, salah satu organisasi Islam terbesar dan tertua di Indonesia, Muhammadiyah menjadi korban.
Balai pengajian dan tiang awal pembangunan Masjid At Taqwa milik Muhammadiyah Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen Selasa (17/10/2017) sekitar pukul 20.00 WIB mengalami gangguan. Tiang-tiang cakar ayam pembangunan masjid dibakar sekelompok massa. Padahal, menurut PP Muhammadiyah, balai pengajian itu sendiri sudah bertahun-tahun dipergunakan untuk kegiatan pengajian warga Muhammadiyah.
Sebulan sebelumnya, acara Daurah Tahfidzul Qur’an, program menghafal al-Quran dua bulan dengan target hafal 30 juzyang diadakan Ittihadul Ma’ahid Muhammadiyah (ITMAM/Persatuan Pondok Pesantren Muhammadiyah) di Karimunjawa, Jepara dihalang-halangi dan hendak dibubarkan kelompok tertentu dengan mempermasalahkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Dalam banyak kasus, alasannya sama, stigma wahabi, yang kerap dipolitisasi untuk menghalangi kegiatan dakwah dan tempat ibadah orang lain.
Menanggapi musibah dan fintah ini, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan resmi. Dalam sikap yang ditandatangani Ketua PP Muhammadiyah, Dr. H. M. Busyro Muqoddas, SH., M.Hum Muhamamdiyah mengajak kepada seluruh komponen bangsa untuk tidak mudah memfitnah dan menuduh pihak lain yang tidak sesuai dengan faham keagamaannya dengan stigma wahabi yang dapat menyebabkan dan menjadi sumber konflik dalam masyarakat.
Menindaklanjuti peristiwa ini, redaksi mewawancarai Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah KH Fathurrahman Kamal, Lc, Msi yang juga pengasuh di Pondok Pesantren Budi Mulia Yogjakarta. Inilah petikan wawancaranya.
Bagaimana tanggapan Anda soal kasus Masjid At-Taqwa Bireun Aceh beberapa waktu lalu?
Kami sangat prihatin dan menyesalkan peristiwa tersebut. Dalam suasana umat Islam harus bergandengan tangan menghadapi tantangan yang semakin kompleks, dan seringkali dalam ketidakpastian, justru ada peristiwa ini. Kasus ini menjadi catatan buruk yang sedikit tidaknya menguras energi dan pikiran kita dalam mengarahkan umat kepada kehidupan yang penuh damai dan toleran dalam kemajemukan di republik ini.
Dalam suasana kita menampilkan wajah Islam yang ramah ini, peristiwa tersebut justeru menjadi semacam anomali, dan bahkan paradoks. Segenap elit dan pimpinan umat, termasuk pemerintah harus memperhatikan masalah ini. Ini persoalan serius dalam relasi intra umat.
Baca: Muhammadiyah Akui Isu Wahabi Digunakan Mendeskreditkan Kelompok Lain
Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menyampaikan sikap resminya terkait kasus pembakaraan pembangunan Masjid At-Taqwa. Sesuai dengan informasi dan lporan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh, PDM Bireun dan PCM Samalanga dapat dipercaya bahwa telah terjadi pembakaran, dan karenanya dilaporkan kepada pihak berwajib. Selanjutnya kami berharap agar pihak Kepolisian segera melakukan penyelidikan dan pengusutan secara tuntas sampai menindak pelaku dan aktor intelektualnya sesuai dengan hukum yang berlaku. (Selanjutnya dapat dibaca, Pernyataan Sikap Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 26/PER/I.O/B/2017)
Kapan Muhammadiyah masuk di Aceh? Apa selama ini ada masalah dengan Muhammadiyah di Aceh?
Penuturan dari para sesepuh kita di Aceh, sejak 1930-an Muhammadiyah telah mengembangkan dakwahnya di sana. Sebagaimana gerakan Muhammadiyah pada umumnya, di sana terdapat amal usaha pendidikan dan lain-lain, yang semuanya itu didedikasikan untuk kemajuan masyarakat setempat.
Dalam masyarakat yang plural, tentu tak dapat dihindari adanya perbedaan-perbedaan tertentu yang terukur di internal umat Islam. Informasi yang kami dapatkan dari teman-teman di lapangan, adanya kesenjangan komunikasi dan salah persepsi tentang hakekat dan jati diri Muhammadiyah. Misalnya, ada pihak-pihak tertentu menuduh Muhammadiyah dengan stigma wahabi. Padahal, kemiripan tertentu secara amaliah antara Muhammadiyah dengan kelompok lain tak bisa jadi pembenaran atas isu tersebut.
Bagaimana dakwah Muhammadiyah di Aceh, apakah sering menyinggung persoalan furu’iyah dan menyalahkan Aswaja?
Ketika bersilaturahim kepada jajaran pengurus Muhammadiyah di berbagai wilayah dan daerah, terkhusus lagi kepada para muballigh Muhammadiyah selalu saya tegaskan kepribadian Muhammadiyah yang berjuang menegakkan perdmaian dan kesejahteraan; memperbanyak kawan dan merawat ukhuwah Islamiyah. Yang terpenting berlapang dada serta luas pandangan dalam menyikapi berbagai perbedaan pandangan.
Baca: Arif dalam Perbedaan
Membenturkan umat dengan perkara-perkara furu’iyah, apalagi sampai “menyalah”kan pihak lain, bukanlah karakter muballigh Muhammadiyah.
Tebarkan rahmat. Dai bukanlah seorang hakim yang bekerja semata dengan palu vonis yang serampangan. Dai berkewajiban untuk melakukan perubahan, bukan semata bereaksi terhadap kemungkaran yang ada. Harus menawarkan solusi operasional dan alternatif bagi umat. Ini semua menuntut seorang dai untuk terus meningkatkan kapasitas intelektual, emosi, dan spiritualnya. Cintai dan rahmati umat ini, sebab umat ini adalah jasadmu sendiri!.
Ada pihak-pihak yang menolak adanya pembakaran masjid milik Muhammadiyah?
Fakta di lapangan terjadi pembakaran, terdapat balai pengajian, dan balai itu juga yang kebetulan dijadikan sebagai tempat istirahat tukang yang sedang mengerjakan pembangunan masjid, tiang-tiang masjid juga dibakar. Benar bahwa yang dibakar bukanlah masjid yang telah sempurna bangunannya, namun pembangunan masjid yang sedang dikerjakan.>>> klik (BERSAMBUNG) ‘persatuan umat Islam yang menjadi momok sangat menakutkan’…