Hidayatullah.com—Sudah menjadi rahasia umum, kalau ada bantuan pemerintah, baik lewat aparat maupun anggota legislatif selalu diminta potongan tertentu sabagai fee atau komisi.
Besarnya fee kadang mencapai 25%.
Pertanyaannya, halalkah bantuan itu diterima?
Jawab:
Bantuan, umumnya didahului dengan syarat pengajuan proposal permohonan. Secara bahasa, permohonan maknanya identik dengan meminta.
Islam sangat membatasi kebolehan untuk meminta-meminta. Nabi menegaskan kepada salah seorang sahabatnya, “Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu di antara tiga orang: (pertama) orang yang mempunyai tanggungan (hutang untuk mendamaikan dua pihak), maka halal baginya meminta-minta hingga ia bisa melunasi tanggungannya, lalu ia berhenti (tidak meminta). (kedua) Orang yang tertimpa bencana yang menghabiskan hartanya, hingga ia memperoleh penopang kehidupan yang normal, lalu ia menahan diri.”
Dan (ketiga), orang yang sangat miskin sehingga ada tiga orang yang bijaksana di antara kaumnya mengatakan: “Si Fulan benar-benar miskin”, maka ia boleh meminta-minta hingga memperoleh kehidupan yang layak. “Wahai Qabishah, meminta-minta yang selain karena tiga sebab di atas, maka itu adalah hasil usaha haram yang dimakan pelakunya sebagai barang haram” (HR. Muslim)
Namun dalam kasus di mana pihak yang dimintai adalah pemerintah, terdapat hadis khusus: ”Sesungguhnya meminta-minta adalah cakaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap mukanya sendiri, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa atau meminta untuk mengatasi hal sangat mendesak.” (HR. Al-Turmudzi)
Al-Mubarakfuri menjelaskan, meminta tersebut boleh jika ia berhak atas harta yang berada di baitul maal. Al-Khaththabi berpandangan, walaupun mempunyai harta –tidak sedang miskin- jika ia membutuhkan, maka boleh meminta haknya, sebab termasuk dalam rangka memenuhi kebutuhan yang tidak dapat ditunda/dilewatkan. (Tuhfat al-Ahwadzi, II/218)
Jadi, pada dasarnya secara pribadi –jika pemerintah menyediakan untuk kebutuhan ini- sebenarnya halal saja, apalagi jika bantuan itu ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat yang sebenarnya itu menjadi bagian dari tugas pemerintah sendiri.
Dapat dipertimbangkan pula, jika dana tersebut tidak diambil oleh pihak-pihak yang amanah dan dengan tujuan yang mulia untuk meninggikan kalimat Allah, maka dikhawatirkan justru akan jatuh di tangan pihak yang mendurhakai Allah.
Padahal tindakan memberikan energi bagi kemungkaran adalah tindakan mungkar. Jika ada pihak lain yang semestinya melaksanakan tugasnya dan telah dibayar negara untuk melaksanakan tugas tersebut masih memotong juga, maka wajib untuk tidak setuju minimal dalam hati, jika memang apabila tidak diberikan justru kehilangan hak yang lebih banyak.
Dalam hal ini dapat berlaku kaidah “irtikab akhaf al-dhararain” yaitu mengambil resiko yang paling ringan. Dan jikapun seseorang harus mengeluarkan uang demi mendapat apa yang telah menjadi haknya, menurut jumhur ulama hal demikian diperkenankan.
Adapun dosanya jelas, ditanggung pihak-pihak yang tega mengambil hak orang lain, tanpa alasan yang dibenarkan secara hukum. Wallahu a’lam* Bambang Subagyo
Dikutip dari buku ‘Solusi Problematika Muamalah & Munakahah’ karya Abdul Kholiq, Lc M.H.I, Ketua Majlis Syariah Hidayatullah.