Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
RAMADHAN lalu, Kelas Pemikiran Gus Dur ke-XI menyajikan materi tentang pembelajaran atas pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Islam dan pluralisme. Kelas yang diadakan di aula The Wahid Institute pada Rabu, 10 Juli 2013, diisi Muhammad Subhi Azhari tentang pluralism agama dan menyinggung soal kebenaran multak dan kebenaran relative.
“Bagi Gus Dur, di dalam agama, terdapat kebenaran yang relatif dan mutlak. Tauhid merupakan kebenaran mutlak. Tetapi negara Islam misalnya, adalah kebenaran relatif. Di dalam kebenaran relatif ini, umat Islam harus mendamaikan kebenarannya dengan kebenaran agama lain. Atau lebih radikal dari itu, sebab agama-agama merupakan jalan yang berbeda tetapi memuara pada kebenaran mutlak, yakni Tuhan itu sendiri. Di sini relatif bermakna, bahwa kebenaran itu hanya kontekstual untuk umat Islam itu sendiri. Semua agama memiliki kebenaran relatif ini. Maka, berdasarkan relativitas kebenaran tersebut, semua umat beragama wajib menghargai masing kebenaran di dalam agama-agama lain,” Muhammad Subhi Azhari, pemateri Kelas Pemikiran Gus Dur ke-XI, Rabu, 17 Juli 2013 yang diselenggarakan The Wahid Institute.
***
Dalam sejarah filsafat Yunani terdapat satu kelompok filosof yang dikenal dengan ‘kaum Sofis’ (shopistês), yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai: seseorang yang menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi yang tidak sah. (Lihat, Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1999), hlm. 83). Bahkan, kaum Sofis ini dituduh sebagai orang-orang yang minta uang bagi ajaran mereka. (Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980), hlm. 33).
Tokoh-tokoh Sofis ini diantaranya: Protagoras yang menyatakan “Man is the measure of all things” (Manusia adalah ukuran untuk segala-galanya). (Lihat, Qosim Nursheha Dzulhadi, “Jejak Sophisme dalam Liberalisasi Pemikiran di Indonesia”, makalah disampaikan di Masjid Nuruzzaman, UNAIR, Surabaya, Sabtu, 16/2/1013). Pendirian ini adalah cikal-bakal ‘relativisme’ dimana kebenaran dianggap tergantung kepada manusia. Manusialah yang menentukan benar-tidaknya, bahkan ada tidaknya. (Lihat, Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 87). Doktrin relativisme ini mengajarkan bahwa di sana tidak lagi nilai yang memiliki kelebihan dari nilai-nilai lain. Agama tidak lagi berhak mengklaim mempunya kebenaran absolut. Ia hanya dipahami sama dengan persepsi manusia sendiri yang relatif itu. (Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis) (Ponorogo-Jatim: Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2008), hlm. 89).
Selain Protagoras, tokoh Sofis lainnya adalah Gorgias yang memiliki diktum pemikiran skeptisisme. Dia mengajarkan, “That nothing exist; and if something did exist, it could not be known; and if could be known it could not be communicated” (Tidak ada sesuatu pun yang benar-benar ada (eksis); jika pun hal itu ada, maka tak dapat diketahui. Dan meskipun dapat diketahui, pengetahuan itu tak dapat disampaikan kepada orang lain). (Donald M. Borchert (Editor in Chief), Encyclopedia of Philosophy, 10 Volume (USA: Thomson Gale, 2nd Edition, 2006), VIII: 48).
Ajaran skeptisisme ini pun akhirnya dilanjutkan oleh para intelek Barat lainnya, seperti: Goodman, Putnam, Rorty, sampai Ernest Hemingway. (Lihat, Qosim Nursheha Dzulhadi, “Jejak Shopisme dalam Liberalisasi Pemikiran di Indonesia”).
Kaum Liberal: Kaum Sofis Modern
Sebagian kaum liberal memang ada yang mengatakan bahwa ‘kebenaran mutlak’ tidak dapat dicapai oleh manusia, karena manusia itu ‘nisbi’ (relatif). Dan sesusatu yang nisbi tidak mungkin dapat menyentuh (sampai) yang ‘mutlak’ (absolut). Maka, kebenaran mutlak hanya dapat diketahui oleh Allah سبحانه وتعالى., karena Dialah yang ‘Maha Mutlak’. Sehingga, kalau begitu, kebenaran itu terbagi dua: kebenaran mutlak dan kebenaran nisbi. (Lihat, misalnya, Sururan (ed.), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam (Jakarta: Fatayat NU dan Ford Foundation, 2005), hlm. 58).
Sejatinya, sebelum kaum liberal menyampaikan teori mutlak atau nisbinya sebuah kebenaran, kaum Sofis (al-Sūfasṭā’iyyah) telah lama mendahului mereka, yakni sejak abad-abad sebelum masehi.
Di antara mereka ada yang dikenal dengan kelompok agnostic (al-lā-adriyyah), yang menyatakan bahwa kebenaran tak dapat diraih.
Kelompok kedua adalah kaum Sofis-relativis (al-‘indiyyah), yang mengklaim bahwa kebenaran itu tergantung yang menyebutkan dan mengatakannya. Dan, kelompok Sofis terakhir dikenal dengan sebutan al-‘Inādiyyah (keras kepala), yang mengklaim bahwa tidak ada yang tahu kebenaran. (Lihat, ‘Allāmah Saʻd al-Dīn al-Taftāzānī, Syarḥ al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah, taḥqīq: Dr. Aḥmad Hijāzī al-Saqā (Kairo: Maktabah al-Kulliyyāt al-Azhariyyah, cet. I, 1407 H/1987 M), hlm. 13, 14).
Padahal kebenaran dalam Islam itu dapat dicapai. Dan untuk mengetahui hakikat kebenaran menurut konsepsi Islam, berikut ini akan diuraikan pembagiannya, agar tidak keliru dan salah dalam memahaminya.
Tiga Jenis Kebenaran
Dalam pemikiran Islam, konsep kebenaran (al-ḥaqq) dapat dibagi menjadi tiga jenis:
Pertama, kebenaran (al-ḥaqq) yang disandarkan kepada Allah سبحانه وتعالى.
Kebenaran (al-ḥaqq) menurut Allah adalah ‘tunggal’: tidak banyak, baik dalam hal-hal tegas dan jelas (al-qṭ‘iyyah) maupun yang sifatnya mendekati yakin (al-ẓanniyyah). Kebenaran seperti ini disebut dengan ‘Kebenaran Mutlak’ (al-ḥaqq al-muṭlaq). Dalilnya di dalam al-Qur’an adalah Firman Allah yang berbunyi, Famādzā ba‘da al-ḥaqq illā al-ḍalāl (Tidak ada lagi setelah kebenaran itu kecuali kesesatan) (QS. Yūnus [10]: 32).
Dari Abū Sa‘īd al-Khudrī ra. menyebutkan bahwa banyak orang yang berhukum dengan hukum (aturan) Sa‘d ibn Mu‘ādz ra. Lalu Abū Sa‘īd mengirim seorang utusan kepadanya, lalu ia datang dengan menunggang keledai.
Ketika Sa‘d ibn Mu‘ādz itu mendekati masjid, Rasulullah berkata, “Ayo, sambutlah orang terbaik dari kalian, tuan pemimpin kalian.” Kemudian Nabi berkata lagi, “Hai Sa‘d, orang-orang ini berhukum kepada peraturan yang engkau tetapkan.” Lalu Sa‘d menjawab, “Aku menetapkan hukum di tengah-tengah mereka agar memerangi orang-orang yang memerangi mereka dan menawan keluarga mereka’. Lalu Rasulullah berkata: ‘Engkau telah menerapkan hukum sesuai dengan hukum Allah atau dengan hukum (aturan) raja’.” (HR. al-Bukhārī).
Dari Sulaimān ibn Buraidah, dari bapaknya ra. dia berkata: “Rasulullah jika mengangkat seorang pemimpin satu pasukan perang beliau selalu berwasiat kepadanya dan kepada kaum Muslimin agar mereka bertakwa (takut) kepada Allah,…jika engkau telah mengepung penduduk Ḥiṣn lalu mereka memintamu untuk menerapkan hukum Allah, maka jangan turuti keinginan mereka itu. Tetapi, aturlah mereka menurut hukum (aturan) yang engkau buat, karena engkau tidak tahu apakah hukum Allah itu sesuai dengan mereka atau tidak.” (HR. Muslim).
‘Amr ibn al-‘Āṣ menyatakan bahwa dia mendengar Rasulallah bersabda: ‘Jika seorang hakim berijtihad dan (ijtihadnya) benar, maka dia mendapat dua pahala kebaikan. Namun jika ijtihadnya keliru, dia mendapat satu kebaikan.” (HR. al-Bukhārī).
Sabda Rasulillah di atas menegaskan bahwa siapa saja yang berijtihad dalam satu perkara dan ijtihadnya itu mengenai kebenaran (al-ḥaqq) yang ada pada sisi Allah maka dia mendapat dua kebaikan: satu pahala ijtihad dan usaha kerasanya dan satu pahala lagi hasil dari ijtihadnya yang tepat (sesuai) dengan kebenaran (al-ḥaqq). Namun siapa yang keliru dalam ijtihadnya tetap mendapat satu kebaikan (pahala) sebagai ganjaran atas usaha dan ijtihadnya itu. Dan Allah memaafkan kekeliruan tersebut karena tidak ada dalil yang tegas dari sang pembuat hukum (al-Syāri‘) yang menyalahkannya. Dan Dia membiarkan hal itu menjadi “ladang” ijtihad manusia.*/bersambung ke ARTIKEL kedua
Penulis adalah guru di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan. Menulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia” (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2013 M) dan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Sumatera Utara