Daya tarik Hamas terletak pada ideologinya, dibandingkan dengan Fatah. Hamas yang islami lebih dekat kultur dan geneologi rakyat Palestina itu sendiri, tempat lahirya pada nabi-nabi
Hidayatullah.com | DUA gerakan politik yang dominan dan paling berpengaruh di Palestina adalah Hamas dan Fatah. Hamas telah menjadi pemimpin de facto Jalur Gaza sejak 2007, setelah mengalahkan dominasi partai Fatah pimpinan Presiden Mahmoud Abbas dalam pemilihan parlemen,
Hamas kemudian mengeluarkan Fatah dari Gaza ketika partai sekuler itu menolak mengakui hasil pemilihan parlemen. Hamas dan Fatah telah memerintah wilayah Palestina yang diduduki di Jalur Gaza dan Tepi Barat masing-masing sejak saat itu.
Sementara kedua kelompok bekerja untuk tujuan yang sama yaitu membangun negara Palestina di wilayah yang dijajah ‘Israel’ pada tahun 1967 –yang terdiri dari Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Tepi Barat—keduanya terdapat beberapa perbedaan mencolok.
Apa ideologi mereka?
Fatah adalah akronim terbalik dari Harakat al-Tahrir al-Filistiniya atau Gerakan Pembebasan Nasional Palestina dalam Bahasa Arab. Kata Fatah memiliki arti menaklukkan.
Gerakan sekuler itu didirikan di Kuwait pada akhir 1950-an oleh diaspora Palestina setelah Nakba 1948 – pembersihan etnis Palestina oleh milisi zionis yang bertujuan untuk menciptakan negara modern Yahudi di atas Palestina yang bersejarah. Fatah didirikan oleh beberapa orang, terutama mendiang presiden Otoritas Palestina – Yasser Arafat, ajudan Khalil al-Wazir dan Salah Khalaf, dan Mahmoud Abbas, yang merupakan presiden Otoritas Palestina saat ini.
Gerakan ini didasarkan pada perjuangan bersenjata melawan ‘Israel’ untuk membebaskan Palestina dari penjajahan militer. Sayap militer utama kelompok itu adalah al-Asifah, atau Badai. Milisi Al-Asifah berbasis di beberapa negara Arab serta di Tepi Barat dan Gaza.
Perjuangan bersenjata kelompok tersebut melawan pendudukan ‘Israel’ dimulai pada tahun 1965. Sebagian besar operasi bersenjatanya dilakukan dari Yordania dan Lebanon.
Di bawah Yasser Arafat, dan setelah Perang Arab-Israel 1967, Fatah menjadi partai dominan di Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang terdiri dari banyak partai politik Palestina. PLO dibentuk pada tahun 1964 dengan tujuan untuk membebaskan Palestina, dan saat ini bertindak sebagai wakil rakyat Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Setelah diusir dari Yordania dan Lebanon pada 1970-an dan 1980-an, gerakan tersebut mengalami perubahan mendasar, lebih memilih bernegosiasi dengan penjajah ‘Israel’, sesuatu yang tidak dikehendaki rakyat Palestina sendiri. “Orang-orang Arab pada dasarnya membantu memaksa Fatah setuju untuk mengambil jalur diplomatik, setelah itu diusir dari Beirut,” kata Nashat al-Aqtash, seorang analis politik yang berbasis di Tepi Barat, kepada Al Jazeera.
Pada 1990-an, PLO yang dipimpin Fatah secara resmi menanggalkan perlawanan bersenjata dan mendukung Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB, yang menyerukan untuk membangun negara Palestina di perbatasan 1967 (Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza), berdampingan dengan ‘negara’ Israel.
PLO kemudian menandatangani Kesepakatan Oslo, yang mengarah pada pembentukan Otoritas Nasional Palestina, atau Otoritas Palestina, sebuah badan pemerintahan mandiri sementara yang dimaksudkan untuk menjadi jalan Negara Palestina yang merdeka.
Sikapnya yang lunak terhadap penjajah ini berbeda dengan faksi Hamas. Hamas adalah singkatan dari Harakat al-Muqawamah al-Islamiyya (Gerakan Perlawanan Islam). Kata HAMAS memiliki arti semangat.
Gerakan Hamas didirikan di Gaza pada tahun 1987 oleh imam sunni, Syeikh Ahmad Yasin dan ajudan Abdul Aziz al-Rantissi tak lama setelah dimulainya Intifada pertama, atau pemberontakan Palestina melawan pendudukan ‘Israel’ di wilayah Palestina.
Gerakan ini dimulai sebagai cabang Ikhwanul Muslimin di Mesir dan menciptakan sayap militer, Brigade Izzudin al-Qassam. Pembentukan milisi ini untuk menjaga perjuangan bersenjata melawan penjajah ‘Israel’ dengan tujuan membebaskan Palestina yang bersejarah.

Gerakan ini juga menyediakan program kesejahteraan sosial untuk korban Palestina dari penjajahan ‘Israel’. Hamas mendefinisikan dirinya sebagai “gerakan pembebasan dan perlawanan nasional Islam Palestina”, menggunakan Islam sebagai kerangka acuannya.
Pada 2017, Hamas mengeluarkan dokumen politik yang secara efektif mengklaim memutuskan hubungan dengan Ikhwanul Muslimin dan mengatakan akan menerima negara Palestina di perbatasan 1967 dengan kembalinya pengungsi Palestina. Meskipun langkah tersebut menimbulkan ketakutan di antara para loyalisnya bahwa mereka menyerah pada perjuangan Palestina, Hamas menambahkan klausul berikut:
“Hamas menolak setiap alternatif untuk pembebasan penuh dan lengkap Palestina, dari sungai ke laut” tetapi menganggap pembentukan negara Palestina yang berdaulat pada perbatasan tahun 1967 “sebagai formula konsensus nasional”.
Gerakan tersebut percaya bahwa “pendirian ‘Israel’ sepenuhnya ilegal”. Ini membedakannya dari PLO, yang bukan merupakan anggotanya.
Hamas memasuki panggung politik Palestina sebagai partai politik pada 2005 ketika terlibat dalam pemilihan lokal, dan menang telak dalam pemilihan parlemen pada 2006, mengalahkan Fatah. Kemenangan ini tidak dikehendaki Barat dan penjajah ‘Israel’ sendiri.
Sejak 2007, ‘Israel’ telah melancarkan tiga perang melawan Hamas dan Jalur Gaza dan memberlakukan blockade darat, laut dan udara Jalur Gaza, tempat gerakan Hamas bermarkas. Di sisi lain, Barat dan ‘Israel’ lebih memanfaatkan dan mengakui pemerintahan Fatah dibanding Hamas.
Perang di Gaza:
2021 – Pertempuran Saif Al-Quds.
2014 – Operation Protective Edge atau Perang Asful Ma’kul (Dedaunan Dimakan Ulat)
2008 – Perang delapan hari bertajuk Operation Cast Leads atau juga dikenal Hijarah as Sijjil (perang Batu Neraka)
2006 – Operation Summer Rains (Operasi Musim Panas yang Membakar)
2006 – Operation Autumn Clouds
Dari perang ini menjadikan Hamas semakin matang. Dan warga sipil di Jalur Gaza terbukti telah menjadi garda depan pembebasan Masjid al-Aqsha.
Apa perbedaan tujuan mereka?
Dengan dirilisnya dokumen politik Hamas pada tahun 2017, tujuan kedua partai secara efektif sama – menciptakan negara Palestina dengan perbatasan tahun 1967.
“Tidak ada nilai pada klausul di mana Hamas mengatakan tidak akan menyerah pada Palestina yang bersejarah,” kata al-Aqtash, analis politik. “Hamas telah menerima kompromi politik dan mereka tidak dapat menarik kembali ini.”
“Semua orang Palestina bermimpi untuk membebaskan Palestina yang bersejarah, tetapi hari ini, mereka sedang mengerjakan solusi yang realistis,” tambahnya, menjelaskan bahwa mereka berfokus pada “apa yang dapat mereka capai dan bukan apa yang mereka harapkan untuk dicapai”.
Apa strategi mereka?
Perbedaan terbesar antara kedua gerakan saat ini adalah sikap mereka terhadap penjajah ‘Israel’ itu sendiri. Hamas berpegang teguh pada kebijakannya menggunakan perlawanan bersenjata untuk membebaskan Palestina, sementara kelompok sekuler Fatah lebih memilikih bernegosiasi dengan ‘Israel’ dan sepenuhnya mengesampingkan angkat senjata.
Karena itu tidaklah heran, selama ini tidak ada perlawanan di wilayah Tepi Barat, dimana pusat Fatah dan PLO berbasis.
Kesepakatan Oslo memberi ‘Israel’ kendali penuh atas ekonomi Palestina serta masalah sipil dan keamanan di lebih dari 60 persen Tepi Barat. Berdasarkan perjanjian tersebut, OP harus berkoordinasi dengan pendudukan ‘Israel’ atas keamanan dan setiap serangan perlawanan bersenjata yang direncanakan terhadap ‘Israel’. Ini dipandang sangat kontroversial dan dilihat oleh beberapa orang sebagai OP berkolaborasi dengan entitas Zionis.
Pada bulan Maret, demonstrasi pecah di Tepi Barat ketika aktivis politik Palestina terkemuka Basil al-Araj dibunuh oleh pasukan ‘Israel’ di Ramallah, setelah ditangkap oleh personel keamanan OP atas tuduhan merencanakan serangan. Mahmoyd Abbas, presiden OP, yang juga pilihan Barat, secara teratur dan terbuka mengutuk setiap operasi perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh Palestina terhadap ‘Israel’.
“OP tidak percaya pada keabsahan senjata Hamas. Artinya, OP ingin mengakhiri perlawanan di Gaza dan Hamas menolaknya. Dan jika Fatah menerima perlawanan, ‘Israel’ akan mengambil tindakan terhadap OP,” kata Abdulsattar Qassem, seorang analis politik yang berbasis di Nablus, mengatakan pada Al Jazeera.
“Ini pasti akan menyebabkan kehancuran pemerintah persatuan baru yang potensial.”

Bagaimana mereka menggalang dukungan?
Daya tarik Hamas terletak pada ideologinya, dibandingkan dengan Fatah. Hamas yang islami lebih dekat kultur dan geneologi rakyat Palestina itu sendiri, tempat lahirya pada nabi-nabi. Sementara Fatah yang sekuler, lebih mendapat dukungan penjajah, Barat dan lembaga-lembaga internasional.
Dalam hal mengumpulkan dukungan, keduanya menggunakan taktik yang sangat berbeda. Hamas, menggunakan aktivisme akar rumput dan mengedukasi masyarakat melalui jalur pendidikan, termasuk tempat-tempat seperti masjid dan universitas.
Fatah, di sisi lain, tidak lagi melakukan pendekatan seperti itu. Kelompok ini lebih mengandalkan dukungan finansial untuk mendapatkan pengikut, menurut mereka yang ada di lapangan. Al-Aqtash mengatakan sekitar setengah dari loyalis Fatah “mendapat manfaat finansial dari OP dan mendapatkan upah seperti gaji dan posisi tinggi – bersama dengan keluarga mereka.
“Mata pencaharian mereka terkait dengan keberadaan OP”
Banyak yang masih memandang Fatah di masa Arafat sebagai pemimpin Palestina. Pada masanya, sebelum menandatangani Kesepakatan Oslo, partai tersebut mendukung perlawanan bersenjata.
Banyak dari mereka di jalan yang mendukung Fatah melakukannya dari perspektif emosional – untuk slogan dan sejarah gerakan – tanpa benar-benar memahami apa pandangan gerakan saat ini,” kata Nashat al-Aqtas.
Di sisi lain, Hamas memiliki basis loyalitas yang sama sekali berbeda, ujar aktivis yang berbasis di Ramallah, Hazem Abu Helal. “Hamas memiliki ideologi yang berbeda dan mereka memiliki orang-orang yang bekerja untuk mempromosikan ide-ide mereka, berbeda dengan Fatah yang menggunakan uang untuk mengamankan pengikutnya,” kata Abu Helal kepada Al Jazeera.
“Saat ini kalau anda bertanya kepada para mahasiswa, mayoritas tidak tahu apa itu ideologi Fatah. Gerakan tersebut tidak memiliki prinsip yang jelas.”
Kenapa Barat menyebut Hamas teroris?
Berbeda dengan Fatah, mayotitas anggota gerakan Hamas adalah santri. Bahkan sebagian besar anggota Al-Qassam adalah para penghafal Al-Quran.
Terkait tuduhan teroris ini tidak jauh dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia zaman dahulu. semua pejuang kemerdekaan dituduh teroris dan ekstremis oleh Belanda.
Adalah Juru bicara sekaligus Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah yang menjawab masalah ini dengan sangat apik. Dalam sebuah pernyataan di media ia mengatakan terkait tuduhan teroris kepada Hama.
“Hamas adalah bagian dari realitas politik di Palestina. Artinya, Hamas sebagai partai politik di Palestina sebenarnya sama seperti Fatah yang juga merupakan kelanjutan dari Organisasi Pembebasan Rakyat Palestina (PLO),” katanya. “Kebetulan saja yang satu garis keras dalam hal perlawanan terhadap pendudukan, yang satu sudah berubah dari perjuangan PLO sebelumnya,” kata Faizasyah kepada Beritasatu.com, Rabu (26/5/2021).

Faizasyah juga mengatakan, Fatah sebagai partai pemenang Pemilu di Palestina mengambil pendekatan lebih lunak karena pendekatan keras ditolak negara-negara lain. Sebaliknya, ujar Faizasyah, Hamas memilih pendekatan keras sebagai perlawanan terhadap kekuatan penjajah Israel.
“Sama seperti Indonesia dulu melawan pendudukan Belanda. Keinginan Belanda menduduki kembali, kita lawan. Dan oleh Belanda, para pejuang kita disebut teroris, tapi bagi kita disebut sebagai pejuang,” kata mantan Duta Besar RI untuk Kanada itu.* (dari berbagai sumber)
Perbandingan Ideologi Fatah dan Hamas (dikutip Al Jazeera)
Hamas – Islam
Fatah – Sekuler
Strategi terhadap ‘Israel’
Hamas – Perlawanan bersenjata
Fatah – Negosiasi
Tujuan
Hamas – Tidak Mengakui ‘Israel’, tetapi menerima negara Palestina dengan perbatasan 1967
Fatah – Mengakui ‘Israel’, ingin mendirikan negara berdasarkan perbatasan 1967.*