Oleh: Achmad Hartono Adi Prabowo
Hidayatullah.com | RASA Kesal, marah, sedih, bahkan tidak peduli dengan yang terjadi pada bangsa Indonesia ditahun 2020. Di tengah pandemi Covid-19 justru mayoritas wakil rakyat bersama pemerintah pusat membuat banyak kontroversi.
Mereka memancing emosi rakyat. Sebenarnya kita sudah tahu tentang bobroknya mereka. Kita ingat tahun lalu banyak sekali pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang yang akan disahkan, mulai dari RUU KPK, RUU KHUP, RUU Cipta Kerja, RUU P-KS dan banyak deretan RUU kontroversial lain.
Kalau boleh meminjam kalimat percakapan dalam film AADC antara Cinta dan Rangga saya ingin katakan pada DPR dan Pemerintah pusat, “BAPAK & IBU…, yang kamu lakukan ke saya itu JAHAT.’”
Serangkaian Peristiwa Unik
Mari kita lihat yang terjadi akhir-akhir ini. Pada Jumi ramai sekali pembahasn RUU HIP (Halauan Ideologi Pancasila). Di dalamnya berusaha memeras Pancasila menjadi Tri Sila, lalu diperas lagi menjadi Ekasila yakni Gotong Royong. Tentu hal ini mengundang banyak kecaman, karena secara tersirat akan menghapus nilai Ketuhanan yang Maha Esa.
Akhir September lalu, Febri Diansyah mundur dari Kepala Biro Komisi Pemberantasan Korupsi. Dirinya menilai setelah disahkanya Undang-Undang KPK yang baru, institusi ini jadi tidak Independen, diperparah kondisi politik dan hukum, telah membuat KPK menjadi lemah.
Awal oktober kita dikejutkan atas pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Anehnya Puan Maharani sebagai ketua DPR ketahuan mematikan microfon kepada mereka yang tidak sependapat, sungguh ini merupakan sebuah lawakan. Mengaku demokrasi tetapi begitu otoriter.
Tidak berhenti di situ, RUU ini dinilai merugikan para buruh, mulai dari penerapan buruh kontrak, tidak ditetapkanya upah minimum, pengaturan waktu cuti yang lebih sedikit, serta banyak muatan yang bertentangan politik dan konstitusi Indonesia.
Pertanyaan Masyarakat
Kondisi negeri ini menghasilkan banyak pertanyaan dari masyarakat. Di antara lain sebagai berikut; Sebenarnya apa yang terjadi dibalik ini semua?, apa juga yang salah dengan bangsa Indonesia hari ini?, mengapa pihak pemerintah maupun legislatif tidak berpihak pada rakyat?,Apakah benar perkataan Profesor Mahfud MD terkait 92% kepala daerah dikendalikan oleh cukong?, apakah benar ini semua disebabkan oleh mahalnya biaya demokrasi dalam kontestasi pemilihan?
Pertanyaan seperti itu terus terlontar, atau benar bahwa segelintir orang dibalik layar, justru merekalah sang penguasa. Hal itu bisa terjadi karena biaya pesta demokrasi kita begitu mahal, Mereka yang membiayai para pejabat saat berkampanye ,harus mendapat balas budi. Kalau memang begitu, benar bahwa negeri ini telah dikuasai oleh cukong, termasuk presiden Indonesia sekalipun telah dikuasai.
Awal Mula Ketidakadilan
Menurut Doktor Refly Harun ketidakadilan kebijakan, karena mahalnya pesta demokrasi. Hal ini disebabkan oleh penetapan ambang batas atau yang biasa kita sebut dengan Threshold. Ambang batas ini berlaku dari parlemen, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden.
Ambang batas parlemen untuk bisa lolos dan mempunyai perwakilan di Senayan , minimal 4% perolehan suara nasional. Jika partai politik tidak mencapai 4%, maka calon legislatif yang seharusnya lolos harus ikhlas jatahnya diberikan kepada politisi yang berada di partai lain dan lolos ambang batas. Ini menyeababkan upaya menghalalkan segala cara.
Menurut penelitian ICW (Indonesia Corruption Watch), untuk biaya berkampanye dan membayar relawan dari seorang calon anggota DPR-RI membutuhkan dana 1- 3 Miliar. Angka itu diaminkan oleh salah satu politisi PPP yakni, Arsul Sani. ICW bahkan mengungkapkan angka ini bisa melambung diatas 10 Miliar jika menngunakan praktik kotor politik uang.
Bagaimana dengan pemilihan calon kepala daerah hingga presiden? Menurut aturan , calon kepala daerah yang meendaftar jalur partai politik harus didukung oleh minimal 20% jumlah kursi yang ada di DPRD dan tergabung dalam koalisi.
Untuk mendapat rekomendasi partai, umumnya sang calon harus membayar sejumlah uang yang dihitung perkursi. Apabila di daerah kabupaten/kota terdapat 40 anggota DPRD, maka minimal harus mengeluarkan uang terlebih dahulu untuk 8 kursi, katakanlah kursi seharga ratusan juta. Kondisi yang sama, namun lebih berat terjadi pada calon Gubernur.
Dari sini kita mendapat gambaran bahwa belum kampanye saja mereka mengeluarkan uang mencapai miliaran. Aturan Presidential Threshold juga sama, Calon Presiden dan Wakil Presiden harus mendapat dukungan 20% dari jumlah kursi DPR-RI, itu artinya harus mendapat minimal dukungan dari 115 kursi dari berbagai partai politik. Bayangkan jika 1 kursi seharga minimal 1 Miliar. Ini belum termasuk biaya berkampanye.
Pertanyaan menarik dari semua ini adalah, “mampukah para calon membiayai kampanye mereka sendiri?”, Sesuai kata prof Mahfud, bahwa 92% dari mereka tidak mampu, apalagi menggunakan praktek money politic. Mereka butuh sponsor, dan itu semua tidak gratis, harus ada balas budi.
Wajib Kita Lawan
Rakyat Indonesia harus tau fakta ini, suara rakyat sudah terbeli. Mereka yang dapat mencalonkan diri bukanlah yang potensial dan cerdas berpolitik, tetapi yang punya uang atau mereka yang dibiayai. Apalagi rakyat yang menikmati money politic,saya ucapkan selamat, karena anda tidak bisa menuntut apapun dari wakil rakyat.
Lewat tulisan ini, saya secara terbuka mendukung upaya Refly Harun dan Rizal Ramli serta teman-teman yang lain untuk menghapus threshold. Saya mengajak masyarakat juga untuk ikut minimal mendoakan bahkan turut serta dalam upaya mencabut ambang batas. Semoga ke depan kita mendapatkan pemimpin yang cerdas dan benar-benar bekerja dan berpihak pada rakyat. Aamiin.*
Ketua Umum PW PII Jatim